Tampilkan postingan dengan label Zona Curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zona Curhat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Mei 2013

THE PHILOSOPHER GIFT



Hadiah terindah adalah ketika kita bisa bertemu dengan sahabat-sahabat yang dengannya, kita bisa merasa menjadi diri sendiri, apa adanya. Yang bersamanya, kita dapat merasa lebih baik. Dan peribahasa Teman adalah cerminan diri kita tidaklah sempurna salah, juga tidak sempurna benar. Karena jika kita bercermin di sebuah kaca utuh sempurna, mungkin memang tak akan terjadi kemiripan yang berarti, sekalipun kau berteman dengan seorang artis, lantas wajahmu akan ikut berubah seperti artis tersebut. Tidak begitu....

Tapi, ketika kau melihat dirimu ke arah batin. Ada jiwa sahabatmu di situ, bercampur bersama rasa sedih, kecewa, dan bahagia…

Penelitian ilmiah membuktikan bahwa ada kaitan siklus menstruasi yang mirip antara dua atau beberapa orang wanita yang menjalin persahabatan dekat. Memiliki emosi yang sama. Berbagi suka, duka, dan empatilah yang konon menjadi penyebabnya. Sehingga tak heran jika seringkali beberapa grup wanita berkumpul dan mereka kompak sedang berhalangan.

Bahkan, tubuh pun bereaksi. Serupa. Jika kita memiliki ikatan batin dengan seseorang, mungkin reaksi-reaksi kimiawi dalam diri kita mengikuti jalannya suasana. Karena meskipun terpisah-pisah… antara perasaan, organ-organ, ruh, dan jiwa… Namun semua itu merupakan suatu kesatuan yang kompak melaju beriringan mengikuti jalannya kendali hati dan pikiran. Hingga menjadi magnet dan pengaruh yang kuat pada lingkungan yang lebih makro. Yaitu : Lingkungan hidup. *Ekologi banget*

Sama halnya seperti ketiga benda yang saya sertakan ini… Tiga benda yang mungkin tak pernah terpikirkan apa… ketika orang-orang melihatnya. Tiga benda yang mungkin bukan merupakan suatu kesatuan. Berdiri sendiri, terpisah-pisah tanpa tali makna yang mengikat ketiganya.

Suatu hari, saya berkunjung ke kediaman seorang sahabat. Sebut saja dia B. *Saya memilih huruf secara Random. Bukan berarti nama dia berawalan ataupun berakhiran huruf B. Intinya, B adalah salah satu partner in crime saya yang sepertinya telah menguasai ilmu kebal. Karena telah berhasil berjuang melewati ‘lorong misteri’ dalam waktu yang cukup lama tanpa melambaikan tangan kepada kamera. 

Ketika saya melakukan aksi kerusuhan di ruangannya, saat itu pula B memperlihatkan sesuatu pada saya. Suatu kardus sepatu. Lalu ia pun berkata-kata diiringi angin sepoi-sepoi yang entah datang dari daerah mana. “Aku punya sesuatu untukmu.” (*ket : bahasa diperhalus biar terkesan romantis) #karena sebenarnya tidak begitu.

Saya : “Apa?” (jelas saya curiga… karena itu kardus yang dipegang B adalah pasti kardus yang dia pakai untuk mewadahi ‘sesuatu’ yang entahlah apaan itu)

B : “Tapi belum gw bungkus… hahaha…” (*ket : lebih nyaman menggunakan bahasa kami sesungguhnya ternyata) #lebih... Apa adanya, lebih Realita. :D

Saya : “Apaan sih itu?”

B : “Ini buat elu… ntar yak gw bungkus dulu.”

Baru kali ini, sekali seumur hidup…menemukan orang yang membungkus kado di hadapan si target penerima.

Saya : “ebuseeet… haha…  udah gitu aja cuy… gak apa2 gak dibungkus jg, orang gw’nya di sini ini.”

Tapi B tetap membungkusnya dengan kertas kado gambar bunga-bunga, selihai ia melipat baju-bajunya di lemari yang amat sangat rapi tertata.

Sungguh ini sepertinya belum pernah dialami oleh orang manapun di bumi. Diberi hadiah yang proses pembungkusannya terlihat olehnya sendiri. Dan itu ternyata sungguh dramatis. Karena pas sampai rumah pun saya jadi tidak tega membuka sampul kadonya. Karena saya tau tahap demi tahap prosess pembungkusan kardus itu.

Tapi berhubung bagaimanapun juga, dia harus dibuka. Akhirnya saya buka secara perlahan-lahan penuh perasaan. Ternyata, terlihat tiga benda nangkring indah di dalam bekas kotak sepatu Cinderella itu. Tiga benda dengan jenis dan warna yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Dan yang paling menarik perhatian pertama kali adalah mouse berwarna biru… B tau kalau saya kurang suka menggunakan touchpad laptop. Saya lebih suka menggunakan mouse. *sebenarnya ini aib, hoho... Japra banget*

Keunikan lain pada mouse itu adalah pada warna… Mengapa B memilih warna biru--di antara sekian banyak warna yang dia bisa pilih untuk warna mouse! Apa karena sekarang pagar gigi behel saya berwarna biru? Atau karena dia suka menonton film biru? *ups* 

Ya, tapi tak masalah, toh memang sebenarnya dari dulu saya suka warna apapun yang soft but strong… Included Blue. 

Tapi semenjak…. Semenjakk… Semenjaaakk….Hmmm… Yahh… *entahlah… saya harus menulis apa pada bagian itu. Tapi intinya, semenjak ‘itu’ saya jadi semakin suka. ^.^v

Lanjut benda ke-2....

Benda ke-2 adalah sebuah tas unik dengan warna yang menyegarkan mata. Warna yang sering diperdebatkan oleh banyak kalangan masyarakat. “Itu Pink!” “Itu Ungu!” “Ahh… Pokoknya Pink!” “Gakkk! Sekali ungu ya tetep Ungu!” “Pecahkan saja tas itu, Biar ramai!”, “Prankkk!!!” dan akhirnya si Ungu dan si Pink pun bercerai.

Pokoknya… Warna yang sebenarnya adalah gradasi antara beberapa padanan warna ini sering memicu perdebatan di kalangan masyarakat, warna ini... tak dapat diungkapkan dengan sebuah nama atau beberapa warna utama. Namun hanya bisa dijelaskan dengan satu kata. 

Magenta.

It means Gentle and Faithful

Saya selalu suka warna ini. Entah kenapa B sangat tau… Seleraku. ^_^ *iklan mie instan*

Benda ke-3 ialah bross berbentuk ‘Love’ berwarna putih. Warna putih melambangkan kesucian… tanpa noda… Tentu saja, setiap manusia mendambakan Cinta yang Suci. Cinta yang tulus dan cinta yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

...dan itu, saya artikan sebagai doa dari seorang sahabat...

Mungkin hanya itu yang bisa saya jelaskan, sederhana dan tak mendalam, karena inilah makna filosofi… terkadang, begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hanya bisa didiskusikan dalam hati sanubari. 

*dan Akhir kata… Saya ingin mengucapkan terima kasihhh pada Miss B yang sudah sangat mengejutkan saya dengan kehadiran benda-benda ini. U’re the best philosopher girl ever, Sist! Meski diam, meski tanpa kata-kata, benda-benda beranekaragam warna itu memiliki ikatan satu sama lain. Cukup jelas menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada hati saya saat ini. 



Senin, 18 Maret 2013

DENTAL FREAKS



Sebelumya saya pernah menulis tentang tema yang serupa, yaitu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia pergigian. Dan, saat ini, (lagi-lagi) saya ingin sharing tentang follow up pasca pencabutan gigi pertama “yang tak kan pernah terlupakan itu” -___-

Entah kenapa, jika disinggung masalah pergigian, agak sedikit konyol bila mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang berkaitan dengannya. Saya tau, bahwa gigi adalah alat untuk mengunyah makanan, saya juga tau gigi itu keberadaannya adalah fitrah manusia, dan meskipun demikian, ada orang yang tidak memiliki gigi lengkap seumur hidupnya. Gigi juga menjadi pembawa berkah bagi para pelawak-pelawak yang memiliki ‘kelebihan’ ataupun ‘keistimewaan’ pada giginya—yang orang lain tidak punya. Pokoknya, peran gigi itu sudah sangat multifungsi, dari hal-hal yang bersifat biologis, kronologis, sampai yang sifatnya entertaining. Hingga ada film yang judulnya Tooth Fairy, peri gigi. 

Gigi memang benar-benar anugerah Yang Maha Kuasa. 

Namun, dokter menyarankan gigi saya dicabut empat biji. Coba bayangkan, empat gigi itu bukan satu atau dua, bahkan lebih dari tiga. Betapa syiioknya saya saat itu, seperti disuruh membunuh anak sendiri rasanya. Karena semula, dokter memberitahu bahwa hanya dua gigi graham sebelah taringlah wajib dicabut untuk meratakan para gigi depan yang pada egois rebutan tempat. 

Saya rasa kalau gigi saya punya tangan, mereka akan saling cekik mencekik satu sama lain.

Tapi pada akhirnya, saya harus terima itu dengan lapang dada, legowo. Toh, pada akhirnya, kita semua akan berpisah juga. 

Saya ingat salah satu perkataan dokter saat pertama kali melihat tampang ketakutan saya. 
“Tenang aja, awal-awal takut-takut, nanti lama-lama ketagihan loh, hehehehe…” *ketawa.agak.jahat* 

Sungguh rasanya saat itu saya ingin ikut tertawa juga sebenarnya. Tapi rasanya terlalu sedih untuk mengeluarkan bunyi tawa. Saya takut bunyi tawa yang keluar dari mulut saya jadi tidak normal dan dokternya malah kabur. 

Meski sebenarnya itu yang saya harapkan. 

Setelah sesi pencabutan pertama, tiga minggu pemulihan, *lama banget* Sebenarnya saya memang lebay, hanya sugesti membayangkan masih menganganya lubang darah di bekas tempat gigi saya. Hingga membutuhkan waktu tiga minggu untuk sadar kembali bahwa masih banyak tugas saya di dunia sebagai hamba Tuhan. Bahwa hidup bukanlah melulu masalah gigi, gigi, dan gigi. Hingga saat itu saya berani cabut gigi untuk yang ke-2 kalinya, meski sisa-sisa trauma masa lampau masih menggerogoti jiwa. #tang-tang itu, paku palu itu, alat pengorek-ngorek gigi itu… ahhh… saya ingin kawin lari saja rasanya saat itu. 

Namun lagi-lagi, saya menyemangati diri sendiri, ini masalah kecil untuk dijadikan hal yang besar. Masih banyak masalah lain yang butuh energi untuk ditakuti. *ditegur Allah subhanahu wa ta'ala karena melakukan dosa, dimarahi atasan, diteriakin emak jika bangun kesiangan, dan hal-hal menyeramkan lainnya. 

Seperti biasa, saya duduk di “kursi dingin”. Saat itu AC ruangan dokter giginya dingin ajaib.. Dinginnya AC membuat saya merasa berada di dalam kulkas penyimpanan batu bara, ditambah lagi deg-degan panas dingin membayangkan sejarah trauma masa lalu berulang. Berusaha rilex. Sang dokter seperti biasa, mencoba menenangkan. Dan saya menempati kursi dingin itu. Sang dokter mendekat, sambil ngecek2 smartphone’nya… saya jadi berpikir hal yang tidak-tidak, jangan-jangan beliau meng-update status dulu sebelum nyabut gigi saya. -___-

Kali ini, masih gigi graham atas sebelah kiri yang dicabut. Suntik anestesi lokal, seperti biasa, sakit. Tapi saya menahan diri untuk tidak menjerit-jerit norak seperti saat pertama kali hal itu terjadi. Ternyata, jeritan bisa ditahan dengan menggenggam batu. Saya kira, hanya saat kebelet buang air besar saja yang bisa ditahan dengan menggenggam batu. Ternyata, sakitnya disuntik pun bisa ditahan dengan menggenggam batu sekuat tenaga. 

Kali ini, letak gigi saya miring, jadi lebih sulit dari yang pertama. Beliau terus mengajak ngobrol saya, di saat posisi mulut saya sedang calangap seperti itu, susah rasanya menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau. Untungnya beliau bukan menginterview saya tentang pengalaman bekerja dan motivasi saya masuk perusahaan. 

Beliau hanya bertanya, “Sakit ga?”, “terlalu kenceng ya?”, “Giginya bagus gak ada lubang, suka sikat gigi ya?” (dalem hati saya menjawab dengan penuh rasa haru, “enggak pernah, Dok, gigi saya gak pernah disikat, Cuma suka diampelas).  

Akhirnya, beliau berhasil setelah sekitar 30 menit mengguncang-guncang gigi saya. Tercabut sempurna. Alhamdulillah. Namun, Setelah itu saya mengalami tremor sesaat. Dokternya agak sedikit panik. Mungkin membayangkan takut dituduh mala praktek dan dilempar koin. 

Ternyata memang letak giginya kurang strategis, sehingga diperlukan tenaga otot tanpa perasaan untuk mencabut gigi mulia tersebut. Sayang sekali, dua gigi awal tidak saya simpan sebagai kenang-kenangan, mereka hilang begitu saja setelah terlepas dari tempatnya…. Sudah selama ini bersama… Namun, mereka pergi entah ke mana. Saya yakin, mereka berdua bahagia di alamnya. Di manapun mereka berada, Tidak akan hancur, karena gigi adalah tulang terkuat yang ada pada tubuh manusia. #Baik-baik di sana ya, Nak... 

Beres sesi pencabutan gigi ke-2. ENOUGH!!! Saya merasa trauma saya memuncak, dan sudah cukup dua kali saja itu terjadi dalam hidup saya yang hanya sekali ini. Persaiton dengan planning dokter yang menyarankan saya mencabut serta dua gigi lagi di bagian bawah. 

Hingga pada akhirnya tibalah jadwal pemasangan behel rahang atas. Dan ternyata, rasanya dipakein bracket itu luar biasa pegal bibir. Calangap selama setengah jam. Belum lagi bibir ditarik-tarik ke kanan dan ke kiri, ke atas, ke depan, Arrrghhh…. Dowerr rasanya. 

Ada orang yang pernah bilang, “don’t worry girl, someday you will find someone who ruin ur lipstick, not ur mascara.” 

Finally, I found Someone who ruin my Lipstick. Huhhh… AND IT’S A DENTIS!!

#Hoho, enggak deng… untung saya tidak memakai lipstick saat itu. Saya tidak suka memakai lipstick, lebih enak makan gorengan, sama saja, terkesan memakai lipstick, namun lebih natural. 

Hmm… belum lagi ada cairan kecut-kecut asem yang ditempelin ke gigi, katanya sih itu buat melekatkan bracketnya. Trus ada sinar-sinar berwarna biru yang menyoroti gigi saya. Kayaknya semua jurus kamekameha sang dokter dikerahkan untuk menyerang gigi saya. 

Setelah itu, pemasangan karet… Beliau memperlihatkan beraneka jenis warna. Dan dengan pertimbangan saya tidak ingin terlalu terlihat menggunakan behel, dan agar warnanya tidak terlalu strong, sehingga tidak terlalu terlihat seperti tompel. Saya memilih warna yang paling pucat. Dan itu warna pink. *tenaaang, bukan pink norce… ini soft pinky. 

Dan, taraaaa…. Jadilahh… terpampang nyata sempurnaa behel ini di gigi-gigi saya…. :D

Lalu setelah itu dokter memberikan pesan-pesan. Inilah pesan-pesan dokter setelah berhasil menanamkan ‘susuk’ tersebut :: 
“Setelah ini, gak boleh makan dulu ya 2 jam, makan yang halus-halus aja, gak boleh makan yang keras-keras, kayak keripik, gorengan, bla bla blaa….” Saya tidak fokus lagi beliau berkata apa… saya tidak bisa lagi memakan gorengan…??? Itu malapetakaa… Lipstik alamikuuu…. T___T

Saya sebenarnya tidak bersedih karena itu, tapi sungguh makanan yang keras-keras itu adalah makanan favorit saya, saya kurang suka makanan-makanan yang lembek. Kurang menantang. XDD

Setelah keluar dari ruangan dokter. Ibu saya mencolek-colek saya. “eh, anterin mama ke ondangan yaa…” 

Oh tidak mama… mama yukerooo… jangan lakukan itu.” (dalem hati saya berontak). Tapi di luar saya tersenyum manis tersipu-sipu “Oke, Ma…” hikss… T___T

Bagaimana tidak, di resepsi pernikahan itu tokoh utamanya adalah makanan. #parah.banget.ini.niatnya.
Maksudnya… pasti banyak makanan yang menggiurkan menggoda iman. Yahh… tapi mau bagaimana lagi. Hidup harus terus berlanjut, sekalipun gigimu baru saja direka ulang.

Dan, sesampainya di resepsi pernikahan… 30 menit dari pemasangan behel… belum dua jam dari waktu yang ditentukan ‘tidak boleh makan’. Saya makan dengan lahapnya, apa saja yang ada di sana, sampai ke rendang-rendang, syomay, ayam, udang, cendol…. 

Dan hasilnya… Linuuuuu Luar biasa nyampe rumah. Saya mulai searching2 di gugel. Berharap menemukan manusia dengan nasib yang serupa dengan saya. Satu hari setelah pemakaian bracket itu saya hanya bisa mengunyah sebelah. Yang sebelah lagi linu gak ketulungan. Belum lagi adaptasi yang luar biasa menyiksa. Rongga mulut kegores2 akibat gesekan-gesekan si bracket manis itu. Pegel rahang pula. Sepertinya, jika gigi-gigi saya bisa berbicara, mereka akan berkata, “Lepaskan aku…. Lepaskan aku~~” Sambil menggoyang2kan diri. 

Dan hasil searching di gugel serta konsultasi berjam-jam dengan kakak dan teman saya yang sedang co ass gigi. Ternyata kelinuan yang terjadi ialah hal yang lumrah adanya. Memang seperti itu, sabar saja, masih adaptasi. Dan benar ternyata… Beberapa hari kemudian saya sudah kembali bersinar dan berpijak seperti dulu kalaa… ^^

Bahkan belum sampai seminggu, saya memutuskan untuk cabut gigi lagi. Yang bawah. #Cabut gigi itu candu juga ternyata. -___- gak mau gak mau lagi, tapi akhirnya mah mau lagi. Bener kata si Pak Dokter, awalnya takut-takut, lama-lama ketagihan. *___*

Seperti biasa, ritual-ritual ‘kursi dingin terjadi lagi’, seperti de Javu. Dan saat dokter mengguncang2 gigi saya. Saya kira akan lama seperti pengalaman yang sudah-sudah, bahkan saya berniat untuk tidur selagi dokter mencabut nyawa gigi saya. Tapi ternyata, tak sampai 1 menit, gigi itu terlepas sempurna hingga ke akar-akarnya. Cepat sekali, tak terasa…

Kali ini, saya meminta gigi saya kembali. Saat gigi itu diberikan pada saya, saya terkejut… ternyata gigi saya akarnya panjang sekali, dan bersih… :D wahh… Gigi yang sehat, putih, dan cerdas. 

Saya menatapnya dengan penuh rasa haru, saya berjanji akan merawat dan menyapihnya dengan sepenuh hati segenap jiwa raga. 
*Lohhh??! #abaikan.

Dan anehnya, setelah sampai rumah, yang biasanya setelah baal habis, linu menyerang. Ini sama sekali gak linu. Dua gigi sebelumnya membutuhkan 2 minggu pemulihan baru bisa mengunyah dua sisi. Tapi saat ini, saya sudah bisa mengunyah dua sisi dengan kondisi memakai behel, benar-benar cepatt pemulihannya, bahkan antibiotik dan obat penahan rasa sakit yang harus diminum pun tidak saya minum. Ini aneh saya rasa, 2 gigi sebelumnya pasca dicabut itu sampe stress karena sakitnya luar biasa, tapi kali ini benar-benar tidak sakit sama sekali. 

Aneh, tapi apa memang bisa seperti itu?! 

Naluri mistik saya pun mencuat ke permukaan, ditambah persetujuan ibu saya, mungkin karena saya kini membawa serta gigi saya. Kalau yang waktu itu kan gak dibawa, dibuang langsung di tempat dokternya. Jadi giginya pundung… #sakit hati. -___-  Jika dia adalah sutradara, mungkin dia akan membuat sinetron yang berjudul “Gigi yang Terbuang”. 

Mitosnya sih seperti itu, setelah dicabut, supaya nggak sakit, giginya harus dibawa. Jangan dibuang. Trus ada lagi mitos jika gigi atas yang dicabut, harus dibuang ke bawah, kalau yang bawah harus dibuang ke genteng. *makin aneh*

Tapi, saya segera menyingkirkan pikiran2 mistis itu, lalu bertaubat dan berbaik sangka pada alam. Mungkin karena ini gigi rahang bawah, jadi tidak terlalu sakit jika dicabut, lagipula proses pencabutannya pun mudah, tak perlu digoyang-goyang dan ditusuk-tusuk terlalu lama seperti sebelum-sebelumnya. 

Sejauh ini, proses terapi ortho berjalan lancar… Alhamdulillah….

Yahh… begitulah kiranya kisah follow up yang berawal dari Dental Fear dan kini menjadi Dental Freaks.

Mungkin serupa dengan Proses hidup yang kita jalani. Semua proses hidup itu bertahap, mungkin di awal, kita tidak menyukai suatu hal sama sekali. Kita ingin segera kabur dari sebuah situasi yang tak membuat kita nyaman. Tapi coba hadapi dulu pelan-pelan, dengan tenang, sabar, dan ikhlas. 

Insya Allah, semua akan berjalan lebih baik, lebih terarah, lebih terbiasa, karena kita telah terlatih untuk menangani rasa takut kita. Hingga suatu saat, kita bisa mulai mencintai apa yang sedang kita jalani dan bersiap untuk menghadapi apa yang akan kita jalani di kemudian hari. 



Minggu, 10 Februari 2013

PERPISAHAN

Jangan pernah takut ku tinggalkan, 
Saat bintang tak mampu lagi berdendang,
Saat malam menjadi terlalu dingin,
Hingga pagi tak seindah biasanya,

Ku tak bisa merubah yang telah terjadi,
Tapi aku kan menjanjikan yang terbaik,
Agar kita tak pernah menjadi jauh,
Meski be
da darmaga untuk kita berlabuh...

Takkan mungkin kita bertahan,
Hidup dalam
kesendirian,
Panas teri
k, hujan badai,
Kita lalui bersama,

Saat hilang arah tujuan, 
Kau tahu ke mana berjalan, 
Meski terang meski gelap, 
Kita lalui bersama...

Pernah kita jatuh,
Menc
oba berdiri,
Menahan sakit dan menangis,
Tapi
arti hidup lebih dari itu,
Dan kita menc
oba melawan...

-Siti Nurhaliza, Seindah Biasa-

Lagu di atas adalah lagu favorit gw saat SMP. Di mana gw merasa itu adalah gambaran cerita kehidupan siapapun yang pernah menjalin ikatan, termasuk ikatan persahabatan. Dulu, gw  suka sedikit  lebay dengan apa yang namanya perpisahan. Perpisahan SD nangis sampai gogoakan saat menyanyikan lagu wajib perpisahan, yang kira-kira liriknya begini…

“Mengapa… waktu itu kita harus berjumpa…
ohh, mengapa, kini kita harus berpisah lagi
Berpisah berpisah lagiii…. Berpisah berpisah lagiiiiii…”

Gw bingung dengan lagu itu sebenarnya, kalau di ingat-ingat sekarang. Sepertinya liriknya agak menyalahkan takdir. Pertemuan dan perpisahan itu kan memang pasti selalu ada dalam tahapan proses hidup, tak usah dipertanyakan lagi kenapa kita dipertemukan jika pada akhirnya kita harus berpisah.

But, saat itu, gak muna, gw terhanyut dengan lagu itu, apalagi diiringi permainan gitarnya Pak Guru Favorit kami. Bukan hanya gw yang nangis gogoakan. Tapi temen-temen gw juga sama aja. Tangisan itu menular, kita sama-sama seperti ‘lonely fool’ di tengah keramaian.

Ada lagi lagu ‘Pileleuyan’ ini lagu berbahasa Sunda. Karena kami berada di dataran Sunda, kami menggunakan lagu wajib perpisahan itu, liriknya begini.

Hayu batur hayu batur,
Urang kumpul sarerea,
Hayu batur hayu batur,
Urang sosonoan heula.

Pileuleuyan pileuleuyan, 
Sapu nyere pegat simpay,
Pileuleuyan pileuleuyan,
Paturay patepang deui.

Amit mundur amit mundur,
Amit ka jalma nu rea,
Amit mundur amit mundur,
Da kuring arek ngumbara.

Nah, ini lagu lebih semangat dibandingkan lagu sebelumnya. Pileuleuyan, artinya seperti “Sayonara” mungkin ya… namun lagu ini jelas lebih optimis Karena ada kalimat “paturay patepang deui” yang artinya “nanti kita bisa bertemu lagi” Lagu yang meminta pamit untuk mengembara--dalam hal ini menuju kehidupan yang lebih menantang lagi. “Welcome to the Real Life”. Lagu ini sengaja dinyanyikan terakhir untuk menghibur para penonton dan tentunya untuk para subjek yang berpisah. Kita memutar sambil melambaikan tangan ke penonton dan masing-masing saling berpelukan. Berpelukannya awalnya satu-satu, lama kelamaan jadi berlima, bertujuh, bersebelas….

Terima kasih SD Negeri Cipaku Perumda yang telah memperkenalkan gw pada dasar persahabatan yang membekass hingga kini.

***
Masuk SMP, gw bertemu dengan teman-teman baru, juga tantangan-tantangan baru. Ada kalanya kita menganggap ini semua adalah akhir, padahal ini adalah awal mula.

Persahabatan berawal dari pertemuan gw dengan sesosok makhluk bernama Fika Aras Ardita Aditia Yudhabrata. Nama yang sungguh panjang, bukan?

Tapi, tenang, dua kata terakhir hanyalah ulah gw yang menyambung-nyambungkan nama sahabat gw ini dengan nama salah satu teman sekelas kita, dan dia pria. Gw sering menjahili mereka berdua dengan menyebut mereka pasangan serasi. Jadilah nama itu terbentuk.

Persahabatan kami ditandai dengan adanya ritual khas yang disebut ‘Kukurilingan’. Definisi Operasional ‘Kukurilingan’ menurut kami adalah kegiatan mengelilingi setiap koridor kelas setelah ujian usai. Berhubung sekolah kami itu panjaang dan cukup luas, jadi kita leluasa untuk menjalankan aksi keliling-keliling sambil ketawa-ketawa (kadang sampai seperti orang kerasukan).

#Astagfirulloh!

Tapi sayangnya, Fika hanya bertahan 1 semester di SMP Negeri 4 Bogor. Kelas 1 Semester 2, dia pindah ke Medan karena bapaknya bekerja di sana. Itu adalah tragedi perpisahaan awal yang cukup membuat anak labil macam gw kehilangan sahabat baik.

Kadang, saat itu gw ngerasa lebih baik ninggal daripada ditinggal.
Saat itu, kita sepakat bakal saling surat menyurat. (Waktu itu belum punya HP, apalagi internet) Jadi satu-satunya alat berhubungan adalah merpati pos.

Berhubung saat itu gw lebay dan lebih melankolis dibanding fika yang lebih phlegmatis. Gw suka bilang, “Fika, ucapin kata-kata terakhir dong…” Tapi Fika malah bilang, “Ihh… Apaan sih, Gak ada kata-kata terakhir, kita itu bakal ketemu lagi, Windaaa…”

Setelah hari itu berlalu, gw sering mencoba mencet nomor telepon rumah Fika yang di Ciomas. Seperti hari-hari biasa gw melakukan hal itu, nyaris setiap hari kita berbincang di telepon, tapi kali itu, saat gw memencet nomor telepon rumahnya, hanya ada nada sambung dan tak ada yang mengangkat. Gw tutup gagang telepon, pencet redial, tutup lagi, pencet redial… Tutup lagi… Redial Lagi… #entah kenapa dulu gw lebay. -____- dan Fika harus tau ini, bahwa gw sering melakukan adegan konyol setelah kepergiannya.

Seperti, menyimpan pas foto hitam putihnya yang berukuran 2x3 dan gw taro di binder (sampai sekarang masih ada). Mengoleksi setiap perangko yang datang bersama surat-suratnya dari Medan. Memelihara ikan bernama Uka hasil kerajinan tangan Fika (sampai sekarang pun masih gw simpan) dan tentunya surat-surat beserta amploppnya (klo yang ini sebagian udah di makanin tikus,,,) :D ngehehe… piss ahh pik…

Ini hasil kerajinan tangan Fika yang dikirim lewat surat. Gw gak tau, kenapa si Fika dulu ngasih gw ikan, dinamain pula, namanya Uka. Dan gw pun aneh. Nempelin ini ikan di belakang binder. *Tapi meski itu semua adalah hal konyol yang dulu kami anggap serius. Dunia anak-anak memang selalu penuh keunikan, keajaiban, dan kenangan yang manis jika dikenang saat kita beranjak dewasa*


Dalam surat, Fika sering menceritakan teman-teman sekelasnya di sekolah barunya, tentang teman sekelasnya yang dia sukai, tentang temannya yang menyebalkan, dan apapun yang dia lakukan di sekolah barunya, SMP 7 Medan. Gw pun menceritakan kehebohan dan keseruan temen-temen gw yang juga temen-temennya Fika di SMP 4.

Kita jadi seperti sahabat pena, sekalinya kirim surat, tebel banget… bisa berlembar-lembar dalam satu amplop, belum lagi ada yang bentuknya majalah kecil yang kita buat sendiri. Dengan surat setebal itu, biasanya kita menggunakan perangko yang amat sangat minim, yaitu dengan nominal 500, 1000. 2000 itu udah paling mending. Bayangin, Bogor-Medan, Jawa Barat-Sumatera Utara, surat tebel2 dalam satu amplop, sampe menggembung kalo disentuh dari luar dan harus ditimbang, dengan perangko seminim itu…. kirim ke kantor pos Januari, nyampe-nyampe bisa Bulan Juni. *dan kadang, berita-berita yang diceritakan dalam surat itu udah basi. Cerita zaman kapan, dibaca zaman kapan.

Ini adalah beberapa perangko yang dikirim oleh Fika, yang gw abadikan di binder, masih ada sampai sekarang. Itu ada sedikit tulisan-tulisan ababil. Harap maklum. Anak kecil, hehe... terlalu penuh pengkhayatan, masih lucu, lugu, dan agak sedikit cupu. *hohoho*


Semuaaa gak serba instan kayak sekarang. Sekalinya kita lagi sebel sama si A, kalau sekarang, bisa curhat langsung lewat sms, WA, atau sosmed… Lah dulu… Misalnya si Fika lagi sebel sama si B, curhat di surat bulan Januari, dibaca oleh gw bulan Juni… Dan itu ternyata curhatan yang sudah basi, karena bisa saja bulan Juni itu Fika sudah tidak sebel lagi sama si B. Lebih parah… waktu itu Fika nyeritain salah satu anggota AFI (Akademi Fantasi Indosiar) yang waktu itu lagi marak-maraknya, namanya Veri (Juara AFI 1) tapi sayangnya, pas gw baca surat Fika, Zaman telah berganti, Waktu telah berlalu… Karena AFI sudah tidak zaman lagi dan Indonesian Idol yang lagi happening.

Tapi, meskipun demikian, kami saling menikmati ‘cerita basi’ kami masing-masing. Gw masih tetep suka ngakakk baca surat-suratnya Fika. Dan Fika pun sepertinya sering gubraggg dan ngakak membaca tulisan2 gw dalam surat yang setebel apaan tau itu. *Atau mungkin ngakak karena saking basinya* :DD

Dan dari surat menyurat itulah… gw berlatih menulis, gw rasa Fika juga sama. Fika itu pandai menulis. Gw suka gaya menulisnya yang mengalir dan penuh kejutan.

Sampai SMA kami masih terus surat-suratan, meskipun waktu itu intensitasnya berkurang, karena Alhamdulillah, kami sudah tidak terlalu purba lagi. Sudah memiliki Hp masing-masing. Hp yang masih ada antenenya kayak yang suka dipake pak polisi di jalan raya. Hp jadul, tapi lebih mendingan dalam menyerap informasi secara cepat, dibandingkan dengan surat menyurat.

Dan, pas kuliah… 
Ternyata kita dipertemukan lagi oleh yang Maha Kuasa.
Fika masuk melalui jalur USMI, sama seperti gw. Dan saat bertemu lagi setelah bertahun-tahun tidak berjumpa… kita langsung melakukan ritual yang sering kita lakukan dulu. Yaitu ‘Kukurilingan’. Bedanya, kali ini, di IPB.

Berarti benar kata Fika dulu, kita bener-bener bisa bertemu lagi. Di Gedung Graha Widya Wisuda yang beratap biru itu *kalau sekarang sudah berubah warna menjadi abu-abu*. Di bangku penonton dengang tulisan huruf F besar (Fakultas Teknik Pertanian), ada seseorang yang dadah-dadah di ujung sana. Saat itu, gw yang juga lagi duduk di bangku penonton bertulisan I besar (Fakultas Ekologi Manusia), dadah juga ke orang yang lagi dadah-dadah ke arah gw, yang memang benar itulah Fika. Udah sekian lama gak ketemu, ternyata dia masih seperti yang dulu. Menyenangkan.

Kini, kami sama-sama telah lulus. Dan telah menemukan jalannya masing-masing. Dulu berpisah, kemarin bertemu, sekarang berpisah lagi. Itu memang hal yang biasa dalam kehidupan. Sekarang kita sudah lebih dewasa dalam memandang hidup.

Sekarang Fika pindah ke Jambi, dia bekerja di sana, *dan bisa saja selamanya di Jambi jika menemukan jodohnya* :D bertelur, berkembang biak, dan beranak pinak di sana. 

Dan gw.... Masih tetap di sini,
Di Pulau Jawa tercinta. 
Menjalankan amanah, menjaga janji, meniti mimpi. 


Selasa, 31 Juli 2012

CELAH

sumber gambar : planetnight.com

Entah mengapa selalu seperti ini. Selalu tidak nyaman rasanya memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu menjadi bahan pemikiran. Memang ini adalah masalah hati, tidak sepantasnya membawa-bawa pikiran terlampau jauh ke suatu arena di mana hati yang lebih berkuasa. Mungkin memang aku terlalu memiliki rasa ingin tau yang tinggi terhadap celah-celah kecil yang tertutup. Ini bukan tentang ‘aku’ saja, tapi tentang kita semua yang merasa memiliki rasa ingin tau di atas ambang batas kenormalan. Kadang tidak masuk akal. Kadang rasa ingin tau yang berlebihan seringkali disertai rasa sakit yang sebenar-benarnya. Sesuatu yang tidak seharusnya kita tau, sesuatu yang tidak sepantasnya kita jelajahi. Karena jika kita mengetahui hal-hal yang tidak seharusnya kita tau, kemungkinan besar kita akan kecewa, lalu terperangkap dalam permainan yang kita ciptakan sendiri.

Berat sekali rasanya mengabaikan bujukan hati untuk tidak terlalu jauh 'ingin' mengetahui kehidupan orang yang tidak wajib kita ketahui. Ketika kita mengagumi seseorang, dengan beberapa sebab yang tak terjabarkan, kita akan terdorong untuk mencari tau, mengamati, memperhatikan dari jarak sejauh apa yang bisa kita jangkau. Entah mengapa, terkadang rasa kagum muncul bersamaan dengan rasa penasaran yang sangat mengganggu, mengajak untuk memainkan sebuah permainan di mana tak ada yang kalah dan yang menang. Permainan yang membingungkan. Namun, kita tetap mengikuti seruannya. Seruan untuk bermain-main dengan api.

Aku tak ingin mendeklarasikan cinta, tak ada sebab-sebab yang melatarbelakangi untuk melakukannya. Ketika kita terlanjur terjerat, ketika kita terlanjur tau tentang hal-hal yang sebenarnya tak perlu kita tau, kita akan pasrah pada beranekaragam perasaan yang memadati semua rongga. Dan ketika kita merasa semakin terhimpit dengan perasaan itu. Yang ingin kita lakukan hanyalah ingin mematikan kobaran api yang sudah terlanjur menyala dalam jiwa. Meskipun sulit, namun perasaan yang tak beralasan dan tak mempunyai harapan itu harus segera dihentikan. Kecuali jika kita percaya, ada tujuan yang mulia pada akhirnya, bukan sekedar rasa yang relatif hampa.

Kepada sebuah celah yang melubangi pikiran, 

Ingin rasanya mengembalikan semua langkah yang terlanjur direntangkan. Sebelum aku membaca namamu di suatu situasi yang sepi. Ketika entah kenapa dengan tidak sopannya rasa penasaran ini muncul tiba-tiba, membuatku ingin mencari tau tentangmu… Lebih jauh… Lebih dekat…

Dengan berjuta situasi yang tak pasti, dengan deklarasi-deklarasi yang nyaris mati. Aku memang tak mencium aroma harapan tentang kisah-kisah manis yang mungkin akan terbina. Namun, di bawah naungan bumi yang sama. Sebagai sesama manusia. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Karena kau telah memberikan sedikit celah dalam pikiranku. 

Celah Inspirasi. J



Jumat, 29 Juni 2012

DETIK-DETIK YANG KEMBALI


Bukan menit, bukan pula detik. Bukan kalimat-kalimat terpotong tak berkelanjutan. Dalam hitungan hari, bulan, tahun, bahkan seumur hidup. Dalam atap langit yang sama dan gertakan angin yang sama.

June, 2011, Binakarya
Tepat nyaris satu tahun, meski masih terhitung mundur berjuta-juta detik. Hari di mana ada hal lain yang masuk dan merubah segalanya. Singgah sementara seolah menayangkan sekilas cuplikan tugas masa depan, secepat kilasan, secepat kenangan yang terbentuk untuk menjadi masa lalu.
Rasanya baru kemarin, merasakan dinginnya telapak kaki di lantai-lantai semen, menimbun air di beberapa ember untuk mandi, mendengarkan adzan subuh, tanpa motivasi untuk tidur kembali. Semangat yang telah tertunda lama, tampak seperti kilasan balik masa-masa perkasa, dan segala hal yang berjalan seharusnya.

Kerinduan ini terbentang sepanjang jalan pintas yang tak lagi bisa terukur. Sejauh masa lalu yang menjembatani perbedaan waktu. Merebak issue tentang teknologi lorong waktu yang dapat membuat manusia kembali ke masa lalu, tergoda untuk terjun mencoba. Sempat berpikir untuk merasakannya, lalu setelah sampai, segera membakar jembatan yang akan membawa raga ini kembali. Karena…. Tak mau kembali pulang.

 Kedewasaan.
Motivasi berjuang.
Empati tanpa keegoisan.
Kesabaran yang bertahan.
Air mata yang tak mau keluar.
Hati yang lebih baik.
Senyum ketulusan.
Keberanian.
Kemauan belajar.
Keikhlasan.
Keringat perjuangan.
Langkah yang tegak, dan…
Kebahagiaan Sejati.

#Ya, Tuhan… ingatkan lagi hamba cara-cara itu.

 June, 2011, Binakarya

_Rindu masa-masa itu, masa di mana ketakutan dan pikiran-pikiran buruk kalah perang_

Minggu, 26 Februari 2012

KIBLAT VS LACRYMOSA

Punya Idola?

Punya artis Favorit?

Punya penyanyi favorit?

Punya grup band favorit?

Punya penulis favorit?

Punya warna favorit?

Punya style favorit?

Punya makanan dan minuman Favorit?

Pasti semua orang punya jawaban masing-masing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sesuai selera. Sesuai juga dengan identitas mereka, sebagai umat muslim, jelas, tak usah ditanya lagi, bahwa kita pasti mengidolakan Nabi Muhammad sebagai panutan, style kita tetap dengan hijab, sebagai muslimah yang seutuhnya.

Kita pun punya idealisme sendiri-sendiri mengenai siapa penulis favorit kita. Ada yang mengidolakan tulisan seorang Atheis, padahal dia bukan seorang Atheis. Ada yang mengaku berkiblat pada salah satu grup band tertentu. Saya punya teman, ia singer sebuah band, dan dia mengaku terinspirasi dari grup band Paramore, grup band asal Amerika. Saya juga punya teman seorang Otaku. Otaku adalah orang-orang yang gemar banget sama hal-hal berbau jepang, doramanya, style’nya, band-band’nya, gamesnya, dll. Ada juga yang Korean lover… Sampai mereka berusaha belajar bahasa-bahasa Negara idola mereka. Sampai mereka memajang foto-foto artis kesayangan mereka sebagai wallpaper hp, PC, dll. Bahkan, ikal pun sampai memajang poster H. Rhoma Irama di kamarnya.

Sebenarnya saya tidak berhak berpendapat mengenai ini. Tapi kadang saya juga sebel lihat orang yang menangis gara-gara gak kebagian tiket konser, misalnya pas Justin Bieber ke Indonesia. Ada yang nangis lebay banget.

Pernah ada seseorang yang tanya, “Win, lu berkiblat pada apa sih?” saya kaget banget denger pertanyaan teman saya itu. Ya saya jawab spontan tanpa mikir, “Ka’bah lahh…” Wong setiap sholat saya menghadap kiblat yang patokannya adalah Ka’bah.

Ternyata maksud beliau di situ ialah perluasan makna dari kata ‘kiblat’. Maksud dia disini ialah style, khususnya gaya menulis. Maksud beliau adalah ‘terinspirasi dari siapa?’. Jika dijawab, saya juga bingung, coz saya tidak merasa ber’kiblat’ pada siapa2 dalam menulis. Saya merasa kadang malah gaya menulis saya tidak konsisten. Kadang romatis mellow, kadang sembrono, kadang tertata, kadang ngotot, kadang sinis. Dalam menulis, saya hanya berkiblat pada suara hati aja.

“Penulis harus punya idealisme” kata salah satu teman seperguruan saya. Jujur, kadang saya—kalau dikatakan penulis, saya bukan penulis yang punya idealisme. Saya mau nulis apa aja sebenernya klo diminta. Tapi dipikir-pikir, menulis yang tidak bermanfaat hanya membuang-buang waktu. Jadi, mulai saat ini saya ingin belajar menulis mengikuti jalur yang benar saja. Meski gak terlalu bener-bener amat, tapi setidaknya, ‘Mencoba untuk tetap berada di jalan yang benar’.

Teman saya itu akhirnya mengerti dan bertanya lagi, “Kamu tuh kenapa suka nulis yang horror-horror sih?”

Saya jadi inget penulis idola saya dulu… hehe, saya jadi sadar, memang tulisan-tulisan saya dipengaruhi gaya tulisannya RL. Stine. Gak usah lah ya, saya jelasin lagi siapakah dia. Yang jelas, dia gak kalah ngetop sama Einstein… hehe…

Begitu besar pengaruh karya seseorang pada karya-karya generasi berikutnya.

Seperti perlunya tinjauan pustaka dalam mengerjakan laporan ilmiah. Kita pun perlu referensi dalam menulis ‘apapun’. Untuk belajar banyak mengenai pengalaman. Untuk belajar lebih banyak mengenai kesempatan.

Semenjak saya mengikuti buku-buku RL. Stine, dari SD saya sudah sangat suka hal-hal berbau horror. Hingga SMP saya melihat suatu video klip yang membuat saya terkagum-kagum, karena saya membayangkan cerita-cerita Horror RL. Stine memiliki soundtrack dan view seperti di video klip itu. Video klip itu bernuansa Horror, dengan scenery yang sangat dark, make up penyanyinya udah kayak hantu apaan tau, main piano, rambut panjang, pake baju perpaduan merah-hitam, trus nurunin tangga perlahan sambil nyanyi dengan tatapan penuh kehorroran, terus abis itu nginjek-nginjek meja makan. Maksudnya, berjalan di atas meja makan dengan anggunnya—tetap dengan wajah pengen makan orang.

Judul lagu itu adalah Call Me When You’re Sober, yang dinyanyikan vokalis wanita bersuara sangat powerfull, mezzo soprano type, dengan lead vocal : Amy Lee. Dari situ saya mendadak suka dengan lagu-lagu dari grup band asal Arkansas, Amerika Serikat itu. Apalagi saat keluar lagu-lagu lainnya kayak Bring Me to Life dan Going Under. Selain Poppy Mercury, saya pun jadi sangat suka Evanescence berkat lagu-lagunya yang cocok dengan khayalan saya tentang kisah-kisahnya RL. Stine.

Tidak hanya tulisan, yang tadinya saya suka warna-warna unyu seperti orange, kuning, pink, dan warna-warna lain yang ‘cewe banget’, mulai dari situ saya jadi menyukai warna-warna soft and dark, tapi berani, kayak hitam, putih, deep purple, dan merah. Dan saya pun merasa berubah menjadi orang yang lebih bijaksana dari sebelumnya. Yang waktu SD nakal, suka banget sama yang namanya ngejailin temen, sampai merosotin celana-celana anak tak bersalah, hingga jadi lebih rada kaleman dikit.

Saya bertaubat setelah saya mengetahui siapa diri saya sebenaarnya, saya bertaubat atas kenakalan-kenakalan yang dilakukan di masa lampau, atas keegoisan, atas kedengkian, atas kemarahan pada orang lain. Dan mulai saat itu saya lebih sering berbicara di dalam hati saja. Menekan segala keinginan, dan mulai mengasihani diri sendiri. Pelampiasan masa kanak-kanak yang nakal, transisi menuju remaja awal. Dan saya mulai mendengarkan lagi musik-musik gloomy yang universal.

Dibandingkan musik-musik dalam negeri. Lirik-lirik lagu dari band yang saya sukai lebih universal. Bagi anak SMP macam saya lebih baik mendengarkan lagu-lagu yang liriknya tidak saya mengerti sepenuhnya daripada mendengarkan lagu-lagu Indonesia tentang cinta-cintaan yang tidak universal. Maksudnya, kenapa mayoritas lagu-lagu di Negara ini berbicara tentang cinta tentang ‘lawan jenis’ melulu. Gak semua orang pernah pacaran kan? Gak semua orang pernah ngalamin seperti apa yang dijabarkan dalam lirik!

Lagu-lagu Indonesia yang bagus itu menurut saya seperti lagunya Chrisye :: damai bersamaMu, ketika tangan dan Kaki bicara, lagu2 religi yang berkisah tentang persahabatan, cinta pada Tuhan, dan kepedulian, saya selalu suka.

Saya baru mengetahui arti lirik-lirik lagu evanescence saat masuk bangku kuliah. Saya baru lumayan mengerti dengan bahasa Inggris. Ketika dulu saya hanya mempedulikan view gothic’nya yang sesuai dengan khayalan saya. Kini saya mulai mencari arti di balik lirik-lirik yang mereka sertakan dalam lagu. Dan itu sangat membuat saya lebih kritis lagi, karena ternyata, lirik-liriknya pun susah diartikan. Seperti halnya puisi, (kata orang) semakin sulit diartikan puisi itu, maka semakin bagus. Ada makna tersembunyi di balik semua itu. Maka setelah kita mengetahui maknanya, kita akan terkagum-kagum. Dan saat ini saya telah mengerti apa maksud dari beberapa lagu hits mereka.

Mereka identik dengan kehorroran. Bahkan teman KKP saya sering protes jika saya menyetel lagu-lagu itu, karena dia ketakutan. Padahal, saya juga sebenarnya penakut. Yahh, namanya juga usaha, untuk mengatasi rasa takut, jadilah menakutkan… hihi…

Tapi, setelah mencari tahu kehidupan para personilnya, saya penasaran, kenapa mereka selalu mengkonsep musik-musik seperti itu? Dan ternyata setelah cari-cari tau, mereka itu tidaklah seperti apa yang kita anggap. Mereka itu tidaklah seperti suketi yang punggungnya bolong. Mereka itu justru sangaaat-sangat sanguinis dan ramah. Kehidupan mereka sama sekali tidak mengerikan apalagi psikopat.

Di balik lirik dan gambar Lacrymosa (horror n tearful) mereka, mereka adalah tipe-tipe manusia yang ceria dan friendly. Bagaimana saya bisa tau? Saya cari tau, dan saya mengamati, karena saya akui bahwa saya adalah salah satu fans mereka. Dan saya pun bercermin pada diri saya sendiri. Meski tulisan-tulisan saya horror-horror, meskipun banyak status-status atau postingan-postingan saya yang mengerikan dan terkesan Gloomy.

Saya tidaklah seperti apa yang saya tuliskan…

Saya tidaklah seperti itu…

Itu hanyalah 'Konsep' yang saya sukai. Menyukai bukan berarti ingin mengikuti segala-galanya. Saya bukanlah seorang fanatik. Saya hanya menyukai ketulusan yang bersahaja. Saya hanya...terinspirasi… ^^

Namun tetap,

Tuhan saya Tetap Allah SWT.

Saya bersaksi Bahwa Muhammad adalah utusan Allah,

Dan, Kiblat saya… Tetap Ka’bah.


Sumber Gambar : evanescence fanpage (asian tour)

Jumat, 17 Februari 2012

ANTOGILAAAA!!!

Di buku ini ada story konyol-ku jugaa... :D

About this book :

“Kalau aku, aku sih terserah Yanti. Dia mau bilang antologi ini gila atau aku yang gila, aku gak masalah. Yang penting Aurel nilai rapornya bagus.” (Amang Premansyah, Penyanyi yang Doyan Getuk)

“Buat temen-temen STM gue, temen-temen ngaji gue, temen-temen yang belum jadi temen gue, MAKAN NIH!” (Marsjanda, Mantan Artis Cilik dan Mantan Istri Duda)

“Untuk anak-anak Indonesia, saya sarankan untuk membaca kisah dalam antogila ini. Cerita yang dikisahkan oleh para kontibutor sangat menghibur, mencerminkan kecacatan psikologis penulisnya.” (Kak Seko Mulyedi, Pemerhati Mamanya Anak)

“Alhamdulillah banget. Sesuatu yah. Aku memilih buku ini untuk dijadikan ganjelan jambulku.” (Syahrimin, Penyanyi Berbulu Mata Anti Badai Kerispatih)

“Menurut analisa saya, buku ini tidak asli. Bila dilihat dari metadatanya, kita akan tahu bahwa buku ini sebenarnya hanya tipuan optik yang terjadi karena suatu objek terkena pancaran sinar yang ditimbulkan oleh matahari sehingga terlihat seolah-olah buku ini asli. Padahal hanya koran bekas bungkus nasi uduk Kang Bani. Tuh lihat masih ada bekas sambelnya!” (Ryo Sukro, Pakar Towelemaktika yang Belum Pernah Tamat Game Zuma)