Sabtu, 21 Desember 2013

ADA TEMPAT INDAH

Ada tempat indah yang tak kan terbayar oleh materi apapun. Ada tempat khusus untukmu, bagi para penyabar dan penanti janji setia Ilahi. Tentu, kau tak ingin tetap berdiam diri memanjakan kesedihanmu. Yang terombang-ambing dalam alunan waktu, tak tentu, tak tertuju.

Kau hanya sebilah kecil peristiwa dunia yang amat besar. Kau hanya sepersekian masalah yang pasti ada jalan keluarnya. Jalur yang ingin kau tuju, mungkin adalah sebuah rangkaian proses menuju kedewasaan. Bukan dengan jalan yang mulus. Bukan juga selalu bersih dari cipratan dosa. Inilah cerita manusia, yang selalu, lagi dan lagi merasa terkutuk akan keteledoran yang ia bina sendiri.

Aku ingin mengenalnya, lebih jauh, lebih dalam, lewat sekelibat bayangan kecil dalam bercak genangan air hujan di jalanan, berkaca di sana dan bertanya, siapa dia di dalam situ, yang muncul di keruhnya air, lalu menghilang dan tak terlihat…

Kau bisa merasakan hentakan kaki yang tak lain adalah dirimu sendiri, yang mencari… terus mencari apa yang sebenarnya tak ingin kau cari. Dunia. Tidak akan pernah ada habisnya jika dihabiskan. Seperti kepuasan yang tak kan pernah puas meski terpuaskan.

Seolah setetes air yang turun ke bumi hanyalah kesiaan yang tak kan ada artinya, seperti binatang hina yang tercipta di dunia, mengapa diciptakan? hanya untuk dihinakankah?

Sehina-hinanya babi… Sekotor apapun pencitraanmu terhadap makhluk penakut ini. Keharaman tak lantas menghinakannya sebagai vaccum cleaner bumi. Ia memakan semua ampas dan sampah dunia dan bahkan ia makan sendiri kotorannya. Dia adalah cleaning service yang jasanya… tak terhingga, namun, tetap terhina.

Namun begitu, ia tak menuntut apa-apa. Ia tetap menjalankan hidupnya, sebagai bagian hina dunia, yang terkucil dan tersisih, mengendus-endus dalam kegelapan. Tanpa protes pada Tuhan atas balas jasa yang telah Ia lakukan sebagai penyedot ampas dosa-dosa manusia.

Begitulah kehidupan, setiap carik benda yang tercipta, tak kan pernah mengandung sia. Dan karena bumi ini sudah tercipta untuk anak manusia yang tak pernah luput dari sengatan sesat dan noda. Tetap, jangan kita lantas merasa hidup ini akan sia-sia dan tak berguna.

Bisakah kita memulai kehidupan baru yang lebih indah, bermanfaat, dan bermartabat. Jika kita belum memulainya, atau bahkan ketika kita sudah merasa memulainya namun jenuh, tergiur, dan tergoda lagi untuk tetap merasa percuma, atau sekedar malas bersyukur atas hal kecil yang kita terima.

Bisakah kita tidak lagi menyalahi apa yang sudah terjadi, dan tetap melanjutkan hidup yang ada dengan kelapangan hati dan keikhlasan?

Untuk mengharap Ridho-Nya, mengharap keberkahan-Nya…


Karena ada tempat indah yang tak kan terbayar oleh materi apapun. Ada tempat khusus untukmu, bagi para penyabar dan penanti janji setia Ilahi.

Selasa, 02 Juli 2013

ARE YOU THE ONE?

Are you the one?
Kaukah orangnya?

The traveller in time who has come
Penjelajah waktu yang tlah datang

To heal my wounds, to lead me to the sun
Tuk sembuhkan lukaku, tuk m
embimbingku menuju mentari

To walk this path with me until the end of time
Tuk 
telusuri jalan ini bersamaku hingga akhir waktu

Reffrain I : Are you the one? (Kaukah orangnya?)

Who sparkles in the night like fireflies
Yang berkilauan di malam hari bak kunang-kunang

Eternity of evening sky
Keabadian langit malam

Facing the morning eye to eye
Hadapi pagi 
dan saling memandang. 

Are you the one?
Kaukah orangnya?

Who'd share this life with me
Yang 'kan berbagi hidup ini denganku

Who'd dive into the sea with me
Yang 'kan selami lautan bersamaku

Are you the one?
Kaukah orangnya?

Who's had enough of pain
Yang 
sudah tak sanggup lagi dengan semua luka

And doesn't wish to feel the shame, anymore
Dan tak ingin rasakan malu lagi

** Are you the one?
Kaukah orangnya?

Whose love is like a flower that needs rain
Yang cintanya 
seperti bunga yang membutuhkan hujan

To wash away the feeling of pain
Tuk menyapu perasaan sakit

Which sometimes can lead to the chain of fear
Yang kadang bisa menuntun ke belenggu ketakutan


Are you the one?
Kaukah orangnya?

To walk with me in garden of stars
Yang 
(akan) berjalan bersamaku di taman gemintang

The universe, the galaxies and Mars
Alam raya, galaksi dan mars

The supernova of our love is true
Supernova cinta kita sungguh nyata


Reffrain II : Are you the one? (Kaukah orangnya?)

Who'd share this life with me
Yang kan berbagi hidup ini denganku

Who'd dive into the sea with me
Yang kan selami lautan bersamaku

Are you the one?
Kaukah orangnya?

Who's had enough of pain
Yang 
sudah tak sanggup dengan semua luka

And doesn't wish to feel the shame, anymore
Dan tak ingin rasakan malu lagi
Are you the one?

Kaukah orangnya?


***
someday… I wanna sing this song with my fated husband. ^___^



Jumat, 17 Mei 2013

THE PHILOSOPHER GIFT



Hadiah terindah adalah ketika kita bisa bertemu dengan sahabat-sahabat yang dengannya, kita bisa merasa menjadi diri sendiri, apa adanya. Yang bersamanya, kita dapat merasa lebih baik. Dan peribahasa Teman adalah cerminan diri kita tidaklah sempurna salah, juga tidak sempurna benar. Karena jika kita bercermin di sebuah kaca utuh sempurna, mungkin memang tak akan terjadi kemiripan yang berarti, sekalipun kau berteman dengan seorang artis, lantas wajahmu akan ikut berubah seperti artis tersebut. Tidak begitu....

Tapi, ketika kau melihat dirimu ke arah batin. Ada jiwa sahabatmu di situ, bercampur bersama rasa sedih, kecewa, dan bahagia…

Penelitian ilmiah membuktikan bahwa ada kaitan siklus menstruasi yang mirip antara dua atau beberapa orang wanita yang menjalin persahabatan dekat. Memiliki emosi yang sama. Berbagi suka, duka, dan empatilah yang konon menjadi penyebabnya. Sehingga tak heran jika seringkali beberapa grup wanita berkumpul dan mereka kompak sedang berhalangan.

Bahkan, tubuh pun bereaksi. Serupa. Jika kita memiliki ikatan batin dengan seseorang, mungkin reaksi-reaksi kimiawi dalam diri kita mengikuti jalannya suasana. Karena meskipun terpisah-pisah… antara perasaan, organ-organ, ruh, dan jiwa… Namun semua itu merupakan suatu kesatuan yang kompak melaju beriringan mengikuti jalannya kendali hati dan pikiran. Hingga menjadi magnet dan pengaruh yang kuat pada lingkungan yang lebih makro. Yaitu : Lingkungan hidup. *Ekologi banget*

Sama halnya seperti ketiga benda yang saya sertakan ini… Tiga benda yang mungkin tak pernah terpikirkan apa… ketika orang-orang melihatnya. Tiga benda yang mungkin bukan merupakan suatu kesatuan. Berdiri sendiri, terpisah-pisah tanpa tali makna yang mengikat ketiganya.

Suatu hari, saya berkunjung ke kediaman seorang sahabat. Sebut saja dia B. *Saya memilih huruf secara Random. Bukan berarti nama dia berawalan ataupun berakhiran huruf B. Intinya, B adalah salah satu partner in crime saya yang sepertinya telah menguasai ilmu kebal. Karena telah berhasil berjuang melewati ‘lorong misteri’ dalam waktu yang cukup lama tanpa melambaikan tangan kepada kamera. 

Ketika saya melakukan aksi kerusuhan di ruangannya, saat itu pula B memperlihatkan sesuatu pada saya. Suatu kardus sepatu. Lalu ia pun berkata-kata diiringi angin sepoi-sepoi yang entah datang dari daerah mana. “Aku punya sesuatu untukmu.” (*ket : bahasa diperhalus biar terkesan romantis) #karena sebenarnya tidak begitu.

Saya : “Apa?” (jelas saya curiga… karena itu kardus yang dipegang B adalah pasti kardus yang dia pakai untuk mewadahi ‘sesuatu’ yang entahlah apaan itu)

B : “Tapi belum gw bungkus… hahaha…” (*ket : lebih nyaman menggunakan bahasa kami sesungguhnya ternyata) #lebih... Apa adanya, lebih Realita. :D

Saya : “Apaan sih itu?”

B : “Ini buat elu… ntar yak gw bungkus dulu.”

Baru kali ini, sekali seumur hidup…menemukan orang yang membungkus kado di hadapan si target penerima.

Saya : “ebuseeet… haha…  udah gitu aja cuy… gak apa2 gak dibungkus jg, orang gw’nya di sini ini.”

Tapi B tetap membungkusnya dengan kertas kado gambar bunga-bunga, selihai ia melipat baju-bajunya di lemari yang amat sangat rapi tertata.

Sungguh ini sepertinya belum pernah dialami oleh orang manapun di bumi. Diberi hadiah yang proses pembungkusannya terlihat olehnya sendiri. Dan itu ternyata sungguh dramatis. Karena pas sampai rumah pun saya jadi tidak tega membuka sampul kadonya. Karena saya tau tahap demi tahap prosess pembungkusan kardus itu.

Tapi berhubung bagaimanapun juga, dia harus dibuka. Akhirnya saya buka secara perlahan-lahan penuh perasaan. Ternyata, terlihat tiga benda nangkring indah di dalam bekas kotak sepatu Cinderella itu. Tiga benda dengan jenis dan warna yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Dan yang paling menarik perhatian pertama kali adalah mouse berwarna biru… B tau kalau saya kurang suka menggunakan touchpad laptop. Saya lebih suka menggunakan mouse. *sebenarnya ini aib, hoho... Japra banget*

Keunikan lain pada mouse itu adalah pada warna… Mengapa B memilih warna biru--di antara sekian banyak warna yang dia bisa pilih untuk warna mouse! Apa karena sekarang pagar gigi behel saya berwarna biru? Atau karena dia suka menonton film biru? *ups* 

Ya, tapi tak masalah, toh memang sebenarnya dari dulu saya suka warna apapun yang soft but strong… Included Blue. 

Tapi semenjak…. Semenjakk… Semenjaaakk….Hmmm… Yahh… *entahlah… saya harus menulis apa pada bagian itu. Tapi intinya, semenjak ‘itu’ saya jadi semakin suka. ^.^v

Lanjut benda ke-2....

Benda ke-2 adalah sebuah tas unik dengan warna yang menyegarkan mata. Warna yang sering diperdebatkan oleh banyak kalangan masyarakat. “Itu Pink!” “Itu Ungu!” “Ahh… Pokoknya Pink!” “Gakkk! Sekali ungu ya tetep Ungu!” “Pecahkan saja tas itu, Biar ramai!”, “Prankkk!!!” dan akhirnya si Ungu dan si Pink pun bercerai.

Pokoknya… Warna yang sebenarnya adalah gradasi antara beberapa padanan warna ini sering memicu perdebatan di kalangan masyarakat, warna ini... tak dapat diungkapkan dengan sebuah nama atau beberapa warna utama. Namun hanya bisa dijelaskan dengan satu kata. 

Magenta.

It means Gentle and Faithful

Saya selalu suka warna ini. Entah kenapa B sangat tau… Seleraku. ^_^ *iklan mie instan*

Benda ke-3 ialah bross berbentuk ‘Love’ berwarna putih. Warna putih melambangkan kesucian… tanpa noda… Tentu saja, setiap manusia mendambakan Cinta yang Suci. Cinta yang tulus dan cinta yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

...dan itu, saya artikan sebagai doa dari seorang sahabat...

Mungkin hanya itu yang bisa saya jelaskan, sederhana dan tak mendalam, karena inilah makna filosofi… terkadang, begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hanya bisa didiskusikan dalam hati sanubari. 

*dan Akhir kata… Saya ingin mengucapkan terima kasihhh pada Miss B yang sudah sangat mengejutkan saya dengan kehadiran benda-benda ini. U’re the best philosopher girl ever, Sist! Meski diam, meski tanpa kata-kata, benda-benda beranekaragam warna itu memiliki ikatan satu sama lain. Cukup jelas menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada hati saya saat ini. 



Kamis, 02 Mei 2013

TITIK KESETIAAN

Ini bukanlah seperti penjabaran rumit yang seringkali kutuliskan lewat konteks bahasa yang penuh keambiguan. Bukan pula rintihan cinta yang memohon dengan darah dan air mata. Bukan keluhan yang meniadakan akal. Bukan cinta yang semakin buta. 

Namun hanya kata-kata inilah yang mampu menampung kerinduan, melalui hati yang sepenuhnya tertuju padamu. Setelah sekian lama berpijak pada tanah bumi yang megah ini. Setelah selama ini merasakan bermacam perasaan hilir mudik datang kembali melintasi sanubari.

Ternyata, hanya dirimulah yang bertahta. Dalam piramida hati teratas, tak tergantikan… Selalu, lagi dan lagi, tak dapat kuhindari… Sejauh apapun aku melangkah. Muara cinta ini pada akhirnya selalu berlabuh kembali padamu.

Meski berkelana mencari tempat persinggahan lain, bermain dengan ciptaan-ciptaan yang pernah tercipta bersama matahari dan bulan. Bersinar bersama pagi yang tenang, menyatu dengan embun pagi yang menyejukan. Melompat ke sana kemari, tertawa, menyanyi, dan menari dengan peluh riang. Hingga terjerumus dalam lubang dusta dan duka yang nyaris mengubur separuh hati.

Namun tetap, ternyata namamu selalu abadi dalam hati. Meski banyak bujukan rayuan tercipta, meski banyak pemandangan indah menyegarkan menawarkan berbagai kebahagiaan. Kembali, hati ini selalu bermuara padamu. Selalu menuju pemiliknya… tak ada yang lain, dan tak kan tergantikan.

Wahai kekasih, meski seringkali tak kulakukan segala pesan hidup dengan baik, meski aku bukanlah pemaham yang baik dalam membaca kepercayaanku. Namun, dalam relung hati yang paling dalam. Di situ ada titik kesetiaanku padamu. Di situ ada kepercayaan penuhku, yang tak bisa kusandarkan pada yang lain. Karena di sanalah tempatmu. Di titik kesetiaanku.

Telah banyak air mata yang kukeluarkan selama hidup di dunia ini. Namun hanya air mata yang jatuh karena mengingatmu… yang bisa mendamaikan jiwa ini. Hanya air mata yang entah mengapa selalu menetes dari kelopak mata sebelah kanan terlebih dahulu. Air mata yang bisa mengelus-elus hatiku saat merasa tertekan, teguncang, ataupun perasaan-perasaan menyiksa lainnya.

Aku tau, seringkali aku lengah, dan tak menyadari tatapanmu yang penuh cinta. Seperti barisan takdir yang kujalani, seperti rangkaian nasib yang kutelusuri. Kau percayakan nasib pada usahaku, yang terkadang jarang mencoba terlihat baik dalam penglihatanmu.

Tak banyak pengetahuanku mengenaimu dan kisah-kisah yang kau ceritakan. Rasa malas yang menyerbu, kesenangan yang menipu, perasaan yang salah, mengalihkan duniaku dari mengingatmu. Namun kau tak pernah melupakan setiap detail hidupku.

Kekasih mana… yang bisa melakukan hal-hal seluar biasa itu. Sudah banyak dikecewakan, sudah banyak mungkin kecemburuanmu atasi sifat dan sikapku selama ini. Namun, setiap kali aku memintamu untuk mendekat kembali karena masalah yang terlalu berat ataupun beban hidup yang tak bisa kuhadapi seorang diri. Kau mendekat, Kau mendekap, erat. Dan inilah Perasaan yang seringkali kutangisi menjelang tidur. Perasaan yang ingin kunikmati menjelang ajalku.

Adalah hanya perasaan cintaku pada-Mu, Ya Allah, Ya Rabb…

Maaf atas perkataan-perkataan gombalku yang kadang tak terbukti nyata. Mengaku cinta tapi mengabaikan amanah. Mengaku Rindu tapi menjalankan apa yang Kau tak suka. Begitu kurangajarnya aku sebagai seorang hamba. Begitu lancangnya aku menyalahi takdir. Begitu nistanya aku hanya mendekatimu jika ada mau.

Tapi, aku tau, Kau tau bahwa selalu ada nama-Mu dalam titik kesetiaanku.

Meski bukanlah pencinta yang ulung dalam melafadzkan asma-Mu.

Ilmuku masih amat sangat dangkal. Seperti tetesan air di padang pasir yang kering. Namun, setiap hari… aku berusaha menjaga titik kesetiaanku, dan belajar tentang bagaimana cara mencintai-Mu.

Aku ingin belajar banyak tentang-Mu. Seperti dulu aku bisa membaca habis biografi artis-artis dorama Jepang.

Aku ingin menjadi Fans Freak-Mu dan para kekasih-Mu. Seperti dulu aku bisa tersenyum, tertawa, menjerit kegirangan saat melihat Falcon menggerakan jarinya di keyboard laptop.

Aku ingin memiliki hati yang berbunga-bunga ketika mengingatmu. Seperti saat aku melihat Chiaki Senpai memainkan pianonya dengan kehandalan yang tak diragukan lagi.

Aku ingin mengingatmu selalu… seperti saat-saat aku mengingat sosok ciptaan-Mu yang sangat kusayangi di dunia.

Karena, mereka hanyalah ciptaan-ciptaan-Mu, yang bahkan beberapa tak pernah nyata ada di dunia. 

Kisah-kisah mereka semu. Namun, kisah-kisah yang Kau bahasakan dalam Ayat-ayat-Mu. Itu Nyata. 

Pernah terjadi… dan itulah bukti Cinta-Mu sepanjang masa.

Aku ingin Lebih mencintai-Mu dari apapun di dunia ini.

Karena Titik Kesetiaanku terpaut kuat pada Ke-Esaan-Mu,

Ya Tuhanku...


SESUNGGUHNYA – by : Raihan

Sebenarnya... hati ini cinta kepada Mu.
Sebenarnya... diri ini rindu kepada Mu.
Tapi aku tidak mengerti,
Mengapa cinta masih tak hadir,
Tapi aku, tidak mengerti,
Mengapa rindu belum berbunga.

Sesungguhnya... walau ku kutip.
Semua permata di dasar lautan.
Sesungguhnya walau ku siram,
Dengan air hujan dari tujuh langit Mu.
Namun cinta tak kan hadir.
Namun rindu takkan berbunga.

Ku coba menghulurkan,
Sebuah hadiah kepada Mu.
Tapi mungkin kerana isinya.
Tidak sempurna tiada seri.

Ku coba menyiramnya.
Agar tumbuh dan berbunga.
Tapi mungkin kerana airnya.
Tidak sesegar telaga kautsar.

Sesungguhnya walau ku kutip.
Semua permata di dasar lautan.
Sesungguhnya walau ku siram.
Dengan air hujan dari tujuh langit Mu.
Namun cinta tak kan hadir.
Namun rindu tak akan berbunga.
Jika tidak mengharap rahmat Mu.
Jika tidak menagih simpati.

Pada Mu ya Allah....

Tuhan hadiahkanlah kasih-Mu kepadaku.
Tuhan kurniakanlah rinduku kepada Mu.
Moga ku tahu.
Syukur ku hanyalah milik Mu.



Sabtu, 30 Maret 2013

ME VERSUS DISLEKSIA (TRUE STORY)


Sumber Gambar : ipnuralam.wordpress.com

Goresan tinta melukiskan banyak kisah yang tersimpan sepanjang sejarah kehidupan manusia, anugerah terindah dari Sang Pemilik Jiwa dan Raga. Saat ini, bukan hanya aku, tapi kita, mereka, kalian, dan semua manusia, adalah penulis sejati. Hanya dengan perasaan cinta yang universal, namun kompleks dijelaskan, ataupun dengan rasa rindu yang tak tersampaikan, hingga mengalirlah kata-kata terlintas dalam hati, yang dapat kita ungkap lewat tulisan.
Aku terlahir dengan bantuan alat vaccum, alat vaccum yang mungkin mempengaruhi fungsi otakku, hingga waktu kecil, aku ’sedikit’ berbeda dengan teman-temanku. Guru-guru SD mencurigai kejanggalan pada anak kecil nakal dan bodoh yang selalu tidak paham apa yang beliau ajarkan ini, terutama dalam pelajaran membaca dan menulis. Hingga pada akhirnya aku menyadari, memang benar, there’s something wrong with me...!  
Aku baru bisa membaca dan menulis saat kelas 4 SD, bisa dibayangkan, di mana anak-anak lain sudah sangat lancar membaca dan menulis, bahkan, adikku saja dari TK sudah menjadi MC di acara sekolah yang pastinya membutuhkan keahlian membaca dan berbicara yang lancar.

Sumber gambar : sekolah123.com

Masa-masa kelas 1 hingga kelas 3 SD adalah masa-masa tersuram. Bagaimana tidak, setiapkali diadakan ujian, aku hanya melihat huruf-huruf berbaris bergoyang menari indah menjadi bentuk-bentuk yang kuinginkan. Bahkan, aku sampai lupa kalau saat itu sedang ujian, dan malah asyik mewarnai huruf-huruf yang mempunyai bolong, seperti huruf ‘a, b, d, o’ dan lain sebagainya. Hingga wali kelasku menggeleng-geleng kepala dan memanggilku secara eksklusif.
Di sebuah ruangan kuno bekas bangunan Belanda, yang saat itu telah berubah menjadi ruangan kelas, aku berbicara dari hati ke hati dengan guruku. Sebut saja namanya, Ibu Desi. Ibu Desi adalah wali kelasku dari kelas 1 hingga kelas 3. Guru di SD-ku hanya sedikit waktu itu, ditambah sekolahku ialah sekolah yang amat terpencil, dengan gaya bangunan khas setting latar film horror. Gaya bangunan Belanda, sarang laba-laba, dinding-dinding dingin kusam, dan retak seolah bercerita tentang sejarah di masa lalu. Membuatku ingin menggambarkannya lewat sebuah ungkapan, yang entah harus kunamakan apa. Karena, faktanya, saat itu, aku tidaklah mempunyai daya dan upaya untuk mengapresiasikan perasaan takut sekaligus kagum itu pada bangunan sekolahku dulu. Aku hanyalah anak yang tak bisa menulis dan membaca, yang saat itu merasa sedang diadili oleh seorang pahlawan tanpa tanda jasa, bernama, Ibu Desi.
Ia memperlihatkan lembar-lembar ujianku dengan nilai yang, amazing…! Luar biasa buruk! Angka itu berwarna merah mengambang di hadapanku, menembus penglihatanku, berbentuk telinga monyet.
”Kamu ini, masa udah kelas 3 SD gak bisa membaca dan menulis! Tulisan kamu terbalik-balik, lihat, kata ini seharusnya ’buku’ bukan ’duku’. Apa kamu tidak bisa membedakan antara huruf  ’b’ dan ’d’? Tidak bisa juga membedakan huruf ’u’ dan ’n’? Kenapa semua jadi terbalik-balik seperti ini?!” beliau menuduhku sekaligus dengan nada prihatin, lebih lagi karena memang, dulu aku termasuk anak sadis yang tidak hanya bodoh, tapi juga nakal, terbukti dengan sering memalak uang jajan teman dan sering usil memerosoti celana olah raga teman! Benar-benar anak yang tidak bermoral.
Aku hanya diam, saat Ibu Desi mengajaku berbicara, bahkan aku tidak takut sama sekali dengan ancaman beliau ingin memanggil orangtuaku ke sekolah. Dan setelah hari itu, Ibu Desi selalu memberikan PR, menulis huruf anggun. Namun selalu berhasil kukerjakan dengan baik, tak sulit bagiku saat itu, karena memang itu seharusnya pelajaran anak TK. Aku selalu bisa meniru apa yang Ibu Desi tuliskan di baris paling atas. Tentu saja itu mudah, tapi entahlah, mengapa aku selalu tidak bisa jika tidak memakai contoh nyata yang terlihat.
Dahulu, aku sering menggambar di bawah tangga, mengkhayati bangunan tua yang setiap hari kulihat, kumasuki, dan membayangkan suatu saat bangunan itu berubah menjadi modern. Imajinasiku terbang, membayangkan kejadian apa saja yang mungkin terjadi sebelum bangunan tua itu dijadikan sekolah, lebih lagi di belakang sekolah terdapat sumur angker dan rumah Belanda yang konon kabarnya, kosong sejak seratus tahun yang lalu, tak dihuni, tepatnya ’tak ada yang berani’ menghuni tempat itu lagi. Aku sering mengintip dari taman belakang sekolah bersama teman-teman satu spesies, (sesama anak nakal). Mengamati apakah ada kehidupan di sana. Dan yang pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri adalah, saat aku mengintip, aku melihat nenek-nenek berhidung mancung sedang duduk di kursi goyang. Sedangkan di tembok terlihat baju khas tentara kolonial Belanda yang digantung di sebuah paku berkarat yang menancap pada tembok kusam.
Hanya aku yang berani mengintip rumah itu, karena, untuk mengintip rumah itu hingga terlihat dalamnya, diperlukan keahlian memanjat dan merayap di tembok yang sangat ekstrim. Dan saat itu hanya aku yang berani memanjatnya. Saat aku turun ke bawah, teman-temanku menagih cerita tentang apa yang telah kulihat di sana. Dan dengan wajah ekspresif ekstra lebay, aku menceritakan pada teman-temanku apa yang telah kulihat, tentunya dengan ’sedikit’ improvisasi.
”Aku tadi lihat nenek-nenek lagi duduk di kursi goyang sambil makan darah, udah gitu di tembok ada baju tentara Belanda yang berlumuran darah, terus nenek-nenek itu mukanya rata, ihh... angker banget deh pokoknya!” teman-temanku memasang tampang ngeri, sekaligus penasaran, dan herannya mereka percaya saja dengan cerita konyolku itu. Aku terus bercerita dengan sangat seru, dan sangat bohong tentunya. Melihat teman-temanku ketakutan, ada perasaan puas menjalar di seluruh batinku. Saat itu juga, aku merasa sudah menyelesaikan satu cerita horror fiksi yang kukarang sendiri secara spontan.
          Suatu hari menjelang kenaikan kelas ke kelas 4, Ibu Desi memanggilku lagi. Kali ini, kulihat ibuku bersamanya. Ibuku memasang wajah ingin marah tapi tampak ditahan karena ada Ibu Desi di sana, aku bisa menduga, cerita apa saja yang mereka bagi bersama tentangku. Tentang kepayahanku dalam menulis dan membaca, tentang kejahilan dan keusilanku, tentang seorang pembohong ulung yang suka menakut-nakuti anak orang! Seketika aku merasa menjadi terdakwa dan siap dimasukan penjara. Namun dugaanku salah. Ibu Desi tersenyum, ia memegang cermin seukuran buku tulis. Ia berkata pada ibuku.
          ”Bu, sepertinya anak ibu mengalami disleksia. Disleksia adalah ketidakmampuan seseorang untuk belajar membaca dan menulis. Baik berupa huruf ataupun angka, ataupun yang berbentuk kalimat. Anak disleksia sulit menerima pelajaran membaca dan menulis. Ia sulit mengeja huruf, dan sering terbalik-balik menuliskan huruf-huruf yang mempunyai struktur yang hampir sama. Seperti ini...” Ibu Desi memperlihatkan lembar-lembar ujianku yang memprihatinkan, dengan banyak angka dan huruf terbalik dan gambar-gambar kartun. Sempat-sempatnya aku menggambar di lembar ujian. Luar biasa jika mengingat lagi hal itu! Yah, mungkin saat itu kemampuan membaca dan menulisku memang payah, tapi jika ada pelajaran kesenian, seperti menggambar, memainkan alat musik, aku agak unggul dari teman-teman yang lain. Dan gambaranku selalu mengerikan. ’Gambar bangunan atau rumah tua yang sangat menyedihkan.’ Entah kenapa, waktu kecil, aku seringkali terobsesi dengan hal-hal horror!
         Ibu Desi tak hanya sekedar memberitahukan informasi tentang disleksia, tapi juga menyarankanku untuk banyak berlatih membaca dan menulis. Jujur, dari beliau dan bangunan tua sekolahku’lah pertama kali aku terinspirasi untuk mulai menulis dan membaca. Setiap hari beliau mengajarkanku menulis, menggunakan kaca, hingga aku dapat membedakan huruf demi huruf seperti orang normal kebanyakan. Semenjak saat itu, ibuku sering membelikanku buku-buku anak. Tapi, yang kubaca hanya buku-buku yang covernya mencurigakan dan menyeramkan, seperti buku-buku RL. Stine.
         ”Belajarlah menulis, kalau sudah bisa, pasti kamu ketagihan, menulis itu salah satu seni menata hati... Tuangkan hal apapun yang kamu sukai, tuliskan apa yang tak mampu kamu katakan, lukislah perasaanmu lewat tulisan, dan temukan keajaiban...” Ucapan Bu Desi selalu terngiang-ngiang di langit-langit kamarku, menghantuiku. Dan sejak saat itu, aku mulai mencoba menulis Diary, dan mulai menuangkan hobi berbohong’ku ke arah yang lebih berguna, yaitu mulai menulis cerpen-cerpen horror fiksi di buku tulis. Entah kenapa, aku menyukai latihan menulis dengan gaya seperti itu, hingga dengan cepat aku bisa menulis lancar seperti manusia yang tidak mempunyai sejarah disleksia samasekali.
Dulu aku tak tahu apa itu disleksia, aku baru mendapat informasi lengkap tentang disleksia saat menginjak usia remaja. Disleksia terjadi karena ketidakstabilan kerja otak bawaan dari lahir, namun kini, aku tahu, semua hal pasti ada hikmahnya, tidak ada yang tidak mungkin. Seorang Albert Einstein pun bahkan mengalami disleksia.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (QS. Ar Ra’d : 11)
Semua peristiwa yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita pasti akan selalu mengandung hikmah. Dan ’disleksia’ tidak akan menghalangiku untuk tetap berkarya. 


*Kisah ini telah dibukukan bersama kisah kawan-kawan lainnya dalam buku kumpulan kisah nyata "Inspirasiku Menulis", yang diterbitkan oleh Leutika Prio, Tahun 2011.

Senin, 18 Maret 2013

DENTAL FREAKS



Sebelumya saya pernah menulis tentang tema yang serupa, yaitu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia pergigian. Dan, saat ini, (lagi-lagi) saya ingin sharing tentang follow up pasca pencabutan gigi pertama “yang tak kan pernah terlupakan itu” -___-

Entah kenapa, jika disinggung masalah pergigian, agak sedikit konyol bila mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang berkaitan dengannya. Saya tau, bahwa gigi adalah alat untuk mengunyah makanan, saya juga tau gigi itu keberadaannya adalah fitrah manusia, dan meskipun demikian, ada orang yang tidak memiliki gigi lengkap seumur hidupnya. Gigi juga menjadi pembawa berkah bagi para pelawak-pelawak yang memiliki ‘kelebihan’ ataupun ‘keistimewaan’ pada giginya—yang orang lain tidak punya. Pokoknya, peran gigi itu sudah sangat multifungsi, dari hal-hal yang bersifat biologis, kronologis, sampai yang sifatnya entertaining. Hingga ada film yang judulnya Tooth Fairy, peri gigi. 

Gigi memang benar-benar anugerah Yang Maha Kuasa. 

Namun, dokter menyarankan gigi saya dicabut empat biji. Coba bayangkan, empat gigi itu bukan satu atau dua, bahkan lebih dari tiga. Betapa syiioknya saya saat itu, seperti disuruh membunuh anak sendiri rasanya. Karena semula, dokter memberitahu bahwa hanya dua gigi graham sebelah taringlah wajib dicabut untuk meratakan para gigi depan yang pada egois rebutan tempat. 

Saya rasa kalau gigi saya punya tangan, mereka akan saling cekik mencekik satu sama lain.

Tapi pada akhirnya, saya harus terima itu dengan lapang dada, legowo. Toh, pada akhirnya, kita semua akan berpisah juga. 

Saya ingat salah satu perkataan dokter saat pertama kali melihat tampang ketakutan saya. 
“Tenang aja, awal-awal takut-takut, nanti lama-lama ketagihan loh, hehehehe…” *ketawa.agak.jahat* 

Sungguh rasanya saat itu saya ingin ikut tertawa juga sebenarnya. Tapi rasanya terlalu sedih untuk mengeluarkan bunyi tawa. Saya takut bunyi tawa yang keluar dari mulut saya jadi tidak normal dan dokternya malah kabur. 

Meski sebenarnya itu yang saya harapkan. 

Setelah sesi pencabutan pertama, tiga minggu pemulihan, *lama banget* Sebenarnya saya memang lebay, hanya sugesti membayangkan masih menganganya lubang darah di bekas tempat gigi saya. Hingga membutuhkan waktu tiga minggu untuk sadar kembali bahwa masih banyak tugas saya di dunia sebagai hamba Tuhan. Bahwa hidup bukanlah melulu masalah gigi, gigi, dan gigi. Hingga saat itu saya berani cabut gigi untuk yang ke-2 kalinya, meski sisa-sisa trauma masa lampau masih menggerogoti jiwa. #tang-tang itu, paku palu itu, alat pengorek-ngorek gigi itu… ahhh… saya ingin kawin lari saja rasanya saat itu. 

Namun lagi-lagi, saya menyemangati diri sendiri, ini masalah kecil untuk dijadikan hal yang besar. Masih banyak masalah lain yang butuh energi untuk ditakuti. *ditegur Allah subhanahu wa ta'ala karena melakukan dosa, dimarahi atasan, diteriakin emak jika bangun kesiangan, dan hal-hal menyeramkan lainnya. 

Seperti biasa, saya duduk di “kursi dingin”. Saat itu AC ruangan dokter giginya dingin ajaib.. Dinginnya AC membuat saya merasa berada di dalam kulkas penyimpanan batu bara, ditambah lagi deg-degan panas dingin membayangkan sejarah trauma masa lalu berulang. Berusaha rilex. Sang dokter seperti biasa, mencoba menenangkan. Dan saya menempati kursi dingin itu. Sang dokter mendekat, sambil ngecek2 smartphone’nya… saya jadi berpikir hal yang tidak-tidak, jangan-jangan beliau meng-update status dulu sebelum nyabut gigi saya. -___-

Kali ini, masih gigi graham atas sebelah kiri yang dicabut. Suntik anestesi lokal, seperti biasa, sakit. Tapi saya menahan diri untuk tidak menjerit-jerit norak seperti saat pertama kali hal itu terjadi. Ternyata, jeritan bisa ditahan dengan menggenggam batu. Saya kira, hanya saat kebelet buang air besar saja yang bisa ditahan dengan menggenggam batu. Ternyata, sakitnya disuntik pun bisa ditahan dengan menggenggam batu sekuat tenaga. 

Kali ini, letak gigi saya miring, jadi lebih sulit dari yang pertama. Beliau terus mengajak ngobrol saya, di saat posisi mulut saya sedang calangap seperti itu, susah rasanya menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau. Untungnya beliau bukan menginterview saya tentang pengalaman bekerja dan motivasi saya masuk perusahaan. 

Beliau hanya bertanya, “Sakit ga?”, “terlalu kenceng ya?”, “Giginya bagus gak ada lubang, suka sikat gigi ya?” (dalem hati saya menjawab dengan penuh rasa haru, “enggak pernah, Dok, gigi saya gak pernah disikat, Cuma suka diampelas).  

Akhirnya, beliau berhasil setelah sekitar 30 menit mengguncang-guncang gigi saya. Tercabut sempurna. Alhamdulillah. Namun, Setelah itu saya mengalami tremor sesaat. Dokternya agak sedikit panik. Mungkin membayangkan takut dituduh mala praktek dan dilempar koin. 

Ternyata memang letak giginya kurang strategis, sehingga diperlukan tenaga otot tanpa perasaan untuk mencabut gigi mulia tersebut. Sayang sekali, dua gigi awal tidak saya simpan sebagai kenang-kenangan, mereka hilang begitu saja setelah terlepas dari tempatnya…. Sudah selama ini bersama… Namun, mereka pergi entah ke mana. Saya yakin, mereka berdua bahagia di alamnya. Di manapun mereka berada, Tidak akan hancur, karena gigi adalah tulang terkuat yang ada pada tubuh manusia. #Baik-baik di sana ya, Nak... 

Beres sesi pencabutan gigi ke-2. ENOUGH!!! Saya merasa trauma saya memuncak, dan sudah cukup dua kali saja itu terjadi dalam hidup saya yang hanya sekali ini. Persaiton dengan planning dokter yang menyarankan saya mencabut serta dua gigi lagi di bagian bawah. 

Hingga pada akhirnya tibalah jadwal pemasangan behel rahang atas. Dan ternyata, rasanya dipakein bracket itu luar biasa pegal bibir. Calangap selama setengah jam. Belum lagi bibir ditarik-tarik ke kanan dan ke kiri, ke atas, ke depan, Arrrghhh…. Dowerr rasanya. 

Ada orang yang pernah bilang, “don’t worry girl, someday you will find someone who ruin ur lipstick, not ur mascara.” 

Finally, I found Someone who ruin my Lipstick. Huhhh… AND IT’S A DENTIS!!

#Hoho, enggak deng… untung saya tidak memakai lipstick saat itu. Saya tidak suka memakai lipstick, lebih enak makan gorengan, sama saja, terkesan memakai lipstick, namun lebih natural. 

Hmm… belum lagi ada cairan kecut-kecut asem yang ditempelin ke gigi, katanya sih itu buat melekatkan bracketnya. Trus ada sinar-sinar berwarna biru yang menyoroti gigi saya. Kayaknya semua jurus kamekameha sang dokter dikerahkan untuk menyerang gigi saya. 

Setelah itu, pemasangan karet… Beliau memperlihatkan beraneka jenis warna. Dan dengan pertimbangan saya tidak ingin terlalu terlihat menggunakan behel, dan agar warnanya tidak terlalu strong, sehingga tidak terlalu terlihat seperti tompel. Saya memilih warna yang paling pucat. Dan itu warna pink. *tenaaang, bukan pink norce… ini soft pinky. 

Dan, taraaaa…. Jadilahh… terpampang nyata sempurnaa behel ini di gigi-gigi saya…. :D

Lalu setelah itu dokter memberikan pesan-pesan. Inilah pesan-pesan dokter setelah berhasil menanamkan ‘susuk’ tersebut :: 
“Setelah ini, gak boleh makan dulu ya 2 jam, makan yang halus-halus aja, gak boleh makan yang keras-keras, kayak keripik, gorengan, bla bla blaa….” Saya tidak fokus lagi beliau berkata apa… saya tidak bisa lagi memakan gorengan…??? Itu malapetakaa… Lipstik alamikuuu…. T___T

Saya sebenarnya tidak bersedih karena itu, tapi sungguh makanan yang keras-keras itu adalah makanan favorit saya, saya kurang suka makanan-makanan yang lembek. Kurang menantang. XDD

Setelah keluar dari ruangan dokter. Ibu saya mencolek-colek saya. “eh, anterin mama ke ondangan yaa…” 

Oh tidak mama… mama yukerooo… jangan lakukan itu.” (dalem hati saya berontak). Tapi di luar saya tersenyum manis tersipu-sipu “Oke, Ma…” hikss… T___T

Bagaimana tidak, di resepsi pernikahan itu tokoh utamanya adalah makanan. #parah.banget.ini.niatnya.
Maksudnya… pasti banyak makanan yang menggiurkan menggoda iman. Yahh… tapi mau bagaimana lagi. Hidup harus terus berlanjut, sekalipun gigimu baru saja direka ulang.

Dan, sesampainya di resepsi pernikahan… 30 menit dari pemasangan behel… belum dua jam dari waktu yang ditentukan ‘tidak boleh makan’. Saya makan dengan lahapnya, apa saja yang ada di sana, sampai ke rendang-rendang, syomay, ayam, udang, cendol…. 

Dan hasilnya… Linuuuuu Luar biasa nyampe rumah. Saya mulai searching2 di gugel. Berharap menemukan manusia dengan nasib yang serupa dengan saya. Satu hari setelah pemakaian bracket itu saya hanya bisa mengunyah sebelah. Yang sebelah lagi linu gak ketulungan. Belum lagi adaptasi yang luar biasa menyiksa. Rongga mulut kegores2 akibat gesekan-gesekan si bracket manis itu. Pegel rahang pula. Sepertinya, jika gigi-gigi saya bisa berbicara, mereka akan berkata, “Lepaskan aku…. Lepaskan aku~~” Sambil menggoyang2kan diri. 

Dan hasil searching di gugel serta konsultasi berjam-jam dengan kakak dan teman saya yang sedang co ass gigi. Ternyata kelinuan yang terjadi ialah hal yang lumrah adanya. Memang seperti itu, sabar saja, masih adaptasi. Dan benar ternyata… Beberapa hari kemudian saya sudah kembali bersinar dan berpijak seperti dulu kalaa… ^^

Bahkan belum sampai seminggu, saya memutuskan untuk cabut gigi lagi. Yang bawah. #Cabut gigi itu candu juga ternyata. -___- gak mau gak mau lagi, tapi akhirnya mah mau lagi. Bener kata si Pak Dokter, awalnya takut-takut, lama-lama ketagihan. *___*

Seperti biasa, ritual-ritual ‘kursi dingin terjadi lagi’, seperti de Javu. Dan saat dokter mengguncang2 gigi saya. Saya kira akan lama seperti pengalaman yang sudah-sudah, bahkan saya berniat untuk tidur selagi dokter mencabut nyawa gigi saya. Tapi ternyata, tak sampai 1 menit, gigi itu terlepas sempurna hingga ke akar-akarnya. Cepat sekali, tak terasa…

Kali ini, saya meminta gigi saya kembali. Saat gigi itu diberikan pada saya, saya terkejut… ternyata gigi saya akarnya panjang sekali, dan bersih… :D wahh… Gigi yang sehat, putih, dan cerdas. 

Saya menatapnya dengan penuh rasa haru, saya berjanji akan merawat dan menyapihnya dengan sepenuh hati segenap jiwa raga. 
*Lohhh??! #abaikan.

Dan anehnya, setelah sampai rumah, yang biasanya setelah baal habis, linu menyerang. Ini sama sekali gak linu. Dua gigi sebelumnya membutuhkan 2 minggu pemulihan baru bisa mengunyah dua sisi. Tapi saat ini, saya sudah bisa mengunyah dua sisi dengan kondisi memakai behel, benar-benar cepatt pemulihannya, bahkan antibiotik dan obat penahan rasa sakit yang harus diminum pun tidak saya minum. Ini aneh saya rasa, 2 gigi sebelumnya pasca dicabut itu sampe stress karena sakitnya luar biasa, tapi kali ini benar-benar tidak sakit sama sekali. 

Aneh, tapi apa memang bisa seperti itu?! 

Naluri mistik saya pun mencuat ke permukaan, ditambah persetujuan ibu saya, mungkin karena saya kini membawa serta gigi saya. Kalau yang waktu itu kan gak dibawa, dibuang langsung di tempat dokternya. Jadi giginya pundung… #sakit hati. -___-  Jika dia adalah sutradara, mungkin dia akan membuat sinetron yang berjudul “Gigi yang Terbuang”. 

Mitosnya sih seperti itu, setelah dicabut, supaya nggak sakit, giginya harus dibawa. Jangan dibuang. Trus ada lagi mitos jika gigi atas yang dicabut, harus dibuang ke bawah, kalau yang bawah harus dibuang ke genteng. *makin aneh*

Tapi, saya segera menyingkirkan pikiran2 mistis itu, lalu bertaubat dan berbaik sangka pada alam. Mungkin karena ini gigi rahang bawah, jadi tidak terlalu sakit jika dicabut, lagipula proses pencabutannya pun mudah, tak perlu digoyang-goyang dan ditusuk-tusuk terlalu lama seperti sebelum-sebelumnya. 

Sejauh ini, proses terapi ortho berjalan lancar… Alhamdulillah….

Yahh… begitulah kiranya kisah follow up yang berawal dari Dental Fear dan kini menjadi Dental Freaks.

Mungkin serupa dengan Proses hidup yang kita jalani. Semua proses hidup itu bertahap, mungkin di awal, kita tidak menyukai suatu hal sama sekali. Kita ingin segera kabur dari sebuah situasi yang tak membuat kita nyaman. Tapi coba hadapi dulu pelan-pelan, dengan tenang, sabar, dan ikhlas. 

Insya Allah, semua akan berjalan lebih baik, lebih terarah, lebih terbiasa, karena kita telah terlatih untuk menangani rasa takut kita. Hingga suatu saat, kita bisa mulai mencintai apa yang sedang kita jalani dan bersiap untuk menghadapi apa yang akan kita jalani di kemudian hari. 



Minggu, 10 Februari 2013

PERPISAHAN

Jangan pernah takut ku tinggalkan, 
Saat bintang tak mampu lagi berdendang,
Saat malam menjadi terlalu dingin,
Hingga pagi tak seindah biasanya,

Ku tak bisa merubah yang telah terjadi,
Tapi aku kan menjanjikan yang terbaik,
Agar kita tak pernah menjadi jauh,
Meski be
da darmaga untuk kita berlabuh...

Takkan mungkin kita bertahan,
Hidup dalam
kesendirian,
Panas teri
k, hujan badai,
Kita lalui bersama,

Saat hilang arah tujuan, 
Kau tahu ke mana berjalan, 
Meski terang meski gelap, 
Kita lalui bersama...

Pernah kita jatuh,
Menc
oba berdiri,
Menahan sakit dan menangis,
Tapi
arti hidup lebih dari itu,
Dan kita menc
oba melawan...

-Siti Nurhaliza, Seindah Biasa-

Lagu di atas adalah lagu favorit gw saat SMP. Di mana gw merasa itu adalah gambaran cerita kehidupan siapapun yang pernah menjalin ikatan, termasuk ikatan persahabatan. Dulu, gw  suka sedikit  lebay dengan apa yang namanya perpisahan. Perpisahan SD nangis sampai gogoakan saat menyanyikan lagu wajib perpisahan, yang kira-kira liriknya begini…

“Mengapa… waktu itu kita harus berjumpa…
ohh, mengapa, kini kita harus berpisah lagi
Berpisah berpisah lagiii…. Berpisah berpisah lagiiiiii…”

Gw bingung dengan lagu itu sebenarnya, kalau di ingat-ingat sekarang. Sepertinya liriknya agak menyalahkan takdir. Pertemuan dan perpisahan itu kan memang pasti selalu ada dalam tahapan proses hidup, tak usah dipertanyakan lagi kenapa kita dipertemukan jika pada akhirnya kita harus berpisah.

But, saat itu, gak muna, gw terhanyut dengan lagu itu, apalagi diiringi permainan gitarnya Pak Guru Favorit kami. Bukan hanya gw yang nangis gogoakan. Tapi temen-temen gw juga sama aja. Tangisan itu menular, kita sama-sama seperti ‘lonely fool’ di tengah keramaian.

Ada lagi lagu ‘Pileleuyan’ ini lagu berbahasa Sunda. Karena kami berada di dataran Sunda, kami menggunakan lagu wajib perpisahan itu, liriknya begini.

Hayu batur hayu batur,
Urang kumpul sarerea,
Hayu batur hayu batur,
Urang sosonoan heula.

Pileuleuyan pileuleuyan, 
Sapu nyere pegat simpay,
Pileuleuyan pileuleuyan,
Paturay patepang deui.

Amit mundur amit mundur,
Amit ka jalma nu rea,
Amit mundur amit mundur,
Da kuring arek ngumbara.

Nah, ini lagu lebih semangat dibandingkan lagu sebelumnya. Pileuleuyan, artinya seperti “Sayonara” mungkin ya… namun lagu ini jelas lebih optimis Karena ada kalimat “paturay patepang deui” yang artinya “nanti kita bisa bertemu lagi” Lagu yang meminta pamit untuk mengembara--dalam hal ini menuju kehidupan yang lebih menantang lagi. “Welcome to the Real Life”. Lagu ini sengaja dinyanyikan terakhir untuk menghibur para penonton dan tentunya untuk para subjek yang berpisah. Kita memutar sambil melambaikan tangan ke penonton dan masing-masing saling berpelukan. Berpelukannya awalnya satu-satu, lama kelamaan jadi berlima, bertujuh, bersebelas….

Terima kasih SD Negeri Cipaku Perumda yang telah memperkenalkan gw pada dasar persahabatan yang membekass hingga kini.

***
Masuk SMP, gw bertemu dengan teman-teman baru, juga tantangan-tantangan baru. Ada kalanya kita menganggap ini semua adalah akhir, padahal ini adalah awal mula.

Persahabatan berawal dari pertemuan gw dengan sesosok makhluk bernama Fika Aras Ardita Aditia Yudhabrata. Nama yang sungguh panjang, bukan?

Tapi, tenang, dua kata terakhir hanyalah ulah gw yang menyambung-nyambungkan nama sahabat gw ini dengan nama salah satu teman sekelas kita, dan dia pria. Gw sering menjahili mereka berdua dengan menyebut mereka pasangan serasi. Jadilah nama itu terbentuk.

Persahabatan kami ditandai dengan adanya ritual khas yang disebut ‘Kukurilingan’. Definisi Operasional ‘Kukurilingan’ menurut kami adalah kegiatan mengelilingi setiap koridor kelas setelah ujian usai. Berhubung sekolah kami itu panjaang dan cukup luas, jadi kita leluasa untuk menjalankan aksi keliling-keliling sambil ketawa-ketawa (kadang sampai seperti orang kerasukan).

#Astagfirulloh!

Tapi sayangnya, Fika hanya bertahan 1 semester di SMP Negeri 4 Bogor. Kelas 1 Semester 2, dia pindah ke Medan karena bapaknya bekerja di sana. Itu adalah tragedi perpisahaan awal yang cukup membuat anak labil macam gw kehilangan sahabat baik.

Kadang, saat itu gw ngerasa lebih baik ninggal daripada ditinggal.
Saat itu, kita sepakat bakal saling surat menyurat. (Waktu itu belum punya HP, apalagi internet) Jadi satu-satunya alat berhubungan adalah merpati pos.

Berhubung saat itu gw lebay dan lebih melankolis dibanding fika yang lebih phlegmatis. Gw suka bilang, “Fika, ucapin kata-kata terakhir dong…” Tapi Fika malah bilang, “Ihh… Apaan sih, Gak ada kata-kata terakhir, kita itu bakal ketemu lagi, Windaaa…”

Setelah hari itu berlalu, gw sering mencoba mencet nomor telepon rumah Fika yang di Ciomas. Seperti hari-hari biasa gw melakukan hal itu, nyaris setiap hari kita berbincang di telepon, tapi kali itu, saat gw memencet nomor telepon rumahnya, hanya ada nada sambung dan tak ada yang mengangkat. Gw tutup gagang telepon, pencet redial, tutup lagi, pencet redial… Tutup lagi… Redial Lagi… #entah kenapa dulu gw lebay. -____- dan Fika harus tau ini, bahwa gw sering melakukan adegan konyol setelah kepergiannya.

Seperti, menyimpan pas foto hitam putihnya yang berukuran 2x3 dan gw taro di binder (sampai sekarang masih ada). Mengoleksi setiap perangko yang datang bersama surat-suratnya dari Medan. Memelihara ikan bernama Uka hasil kerajinan tangan Fika (sampai sekarang pun masih gw simpan) dan tentunya surat-surat beserta amploppnya (klo yang ini sebagian udah di makanin tikus,,,) :D ngehehe… piss ahh pik…

Ini hasil kerajinan tangan Fika yang dikirim lewat surat. Gw gak tau, kenapa si Fika dulu ngasih gw ikan, dinamain pula, namanya Uka. Dan gw pun aneh. Nempelin ini ikan di belakang binder. *Tapi meski itu semua adalah hal konyol yang dulu kami anggap serius. Dunia anak-anak memang selalu penuh keunikan, keajaiban, dan kenangan yang manis jika dikenang saat kita beranjak dewasa*


Dalam surat, Fika sering menceritakan teman-teman sekelasnya di sekolah barunya, tentang teman sekelasnya yang dia sukai, tentang temannya yang menyebalkan, dan apapun yang dia lakukan di sekolah barunya, SMP 7 Medan. Gw pun menceritakan kehebohan dan keseruan temen-temen gw yang juga temen-temennya Fika di SMP 4.

Kita jadi seperti sahabat pena, sekalinya kirim surat, tebel banget… bisa berlembar-lembar dalam satu amplop, belum lagi ada yang bentuknya majalah kecil yang kita buat sendiri. Dengan surat setebal itu, biasanya kita menggunakan perangko yang amat sangat minim, yaitu dengan nominal 500, 1000. 2000 itu udah paling mending. Bayangin, Bogor-Medan, Jawa Barat-Sumatera Utara, surat tebel2 dalam satu amplop, sampe menggembung kalo disentuh dari luar dan harus ditimbang, dengan perangko seminim itu…. kirim ke kantor pos Januari, nyampe-nyampe bisa Bulan Juni. *dan kadang, berita-berita yang diceritakan dalam surat itu udah basi. Cerita zaman kapan, dibaca zaman kapan.

Ini adalah beberapa perangko yang dikirim oleh Fika, yang gw abadikan di binder, masih ada sampai sekarang. Itu ada sedikit tulisan-tulisan ababil. Harap maklum. Anak kecil, hehe... terlalu penuh pengkhayatan, masih lucu, lugu, dan agak sedikit cupu. *hohoho*


Semuaaa gak serba instan kayak sekarang. Sekalinya kita lagi sebel sama si A, kalau sekarang, bisa curhat langsung lewat sms, WA, atau sosmed… Lah dulu… Misalnya si Fika lagi sebel sama si B, curhat di surat bulan Januari, dibaca oleh gw bulan Juni… Dan itu ternyata curhatan yang sudah basi, karena bisa saja bulan Juni itu Fika sudah tidak sebel lagi sama si B. Lebih parah… waktu itu Fika nyeritain salah satu anggota AFI (Akademi Fantasi Indosiar) yang waktu itu lagi marak-maraknya, namanya Veri (Juara AFI 1) tapi sayangnya, pas gw baca surat Fika, Zaman telah berganti, Waktu telah berlalu… Karena AFI sudah tidak zaman lagi dan Indonesian Idol yang lagi happening.

Tapi, meskipun demikian, kami saling menikmati ‘cerita basi’ kami masing-masing. Gw masih tetep suka ngakakk baca surat-suratnya Fika. Dan Fika pun sepertinya sering gubraggg dan ngakak membaca tulisan2 gw dalam surat yang setebel apaan tau itu. *Atau mungkin ngakak karena saking basinya* :DD

Dan dari surat menyurat itulah… gw berlatih menulis, gw rasa Fika juga sama. Fika itu pandai menulis. Gw suka gaya menulisnya yang mengalir dan penuh kejutan.

Sampai SMA kami masih terus surat-suratan, meskipun waktu itu intensitasnya berkurang, karena Alhamdulillah, kami sudah tidak terlalu purba lagi. Sudah memiliki Hp masing-masing. Hp yang masih ada antenenya kayak yang suka dipake pak polisi di jalan raya. Hp jadul, tapi lebih mendingan dalam menyerap informasi secara cepat, dibandingkan dengan surat menyurat.

Dan, pas kuliah… 
Ternyata kita dipertemukan lagi oleh yang Maha Kuasa.
Fika masuk melalui jalur USMI, sama seperti gw. Dan saat bertemu lagi setelah bertahun-tahun tidak berjumpa… kita langsung melakukan ritual yang sering kita lakukan dulu. Yaitu ‘Kukurilingan’. Bedanya, kali ini, di IPB.

Berarti benar kata Fika dulu, kita bener-bener bisa bertemu lagi. Di Gedung Graha Widya Wisuda yang beratap biru itu *kalau sekarang sudah berubah warna menjadi abu-abu*. Di bangku penonton dengang tulisan huruf F besar (Fakultas Teknik Pertanian), ada seseorang yang dadah-dadah di ujung sana. Saat itu, gw yang juga lagi duduk di bangku penonton bertulisan I besar (Fakultas Ekologi Manusia), dadah juga ke orang yang lagi dadah-dadah ke arah gw, yang memang benar itulah Fika. Udah sekian lama gak ketemu, ternyata dia masih seperti yang dulu. Menyenangkan.

Kini, kami sama-sama telah lulus. Dan telah menemukan jalannya masing-masing. Dulu berpisah, kemarin bertemu, sekarang berpisah lagi. Itu memang hal yang biasa dalam kehidupan. Sekarang kita sudah lebih dewasa dalam memandang hidup.

Sekarang Fika pindah ke Jambi, dia bekerja di sana, *dan bisa saja selamanya di Jambi jika menemukan jodohnya* :D bertelur, berkembang biak, dan beranak pinak di sana. 

Dan gw.... Masih tetap di sini,
Di Pulau Jawa tercinta. 
Menjalankan amanah, menjaga janji, meniti mimpi.