Sabtu, 26 Maret 2011

MY ANTHOLOGY BOOK

Gemercik gerimis menyenandungkan resonansi memori yang lambat dengan arahan sang waktu, bagaikan sebuah difraksi yang menyebar dari suatu titik cahaya, suara hujan memanggil kembali kenangan yang telah kukubur dalam-dalam di dasar hati sanubari. Sebuah pintu rahasia yang telah kututup rapat. Kukunci dengan sekuat hati, lalu kemudian kulemparkan kunci itu ke dasar samudera, agar tak ada yang menemukannya, termasuk keinginanku sendiri.

Namun, kini, irama deras hujan, yang lambat laun mengarah pada gerimis syahdu tanpa cela, memanggil sekawanan impian, harapan, serta mendatangkan rasa kesepian yang mengawalinya. Untuk selanjutnya, aku hanya bisa memandang ke luar jendela, mendengarkan melodi kerinduan yang ditimbulkan dari suara hujan, yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Hanya bisa dirasakan dengan hati yang sedang dilanda rindu.

Aku teringat tentang seseorang yang sempat singgah di hatiku, namun kini, tak bisa lagi kutemukan kehadirannya dalam duniaku. Awalnya, aku tak tahu, perasaan apa yang sedang kurasakan itu, kenapa perasaan itu ada? Perasaan itu begitu aneh dan tak wajar. Aku dapat merasakannya, tapi aku tak tahu perasaan itu dinamakan apa. Mungkin aku tahu, tapi, tak tega menyebutkannya, karena terlalu nista untuk disebutkan.

Perasaan itu terlalu mengerikan, sangaaat mengerikan! Lebih mengerikan daripada hal apapun. Perhatiannya, rasa pedulinya serta tawa dan canda yang ia tawarkan, mewarnai hidupku. Entah sejak kapan aku selalu mengharapkan kehadirannya, di berbagai acara, di setiap hariku. Jika dia tidak ada, aku merasa dunia ini penuh dengan kehampaan tanpa jeda.

COMING SOON : SHADOW OF DEATH

Diana Chaterin mencari ilmu hingga ke negara Lord Camblle, negeri di mana ia selalu dihantui bayang-bayang kematian. Dalam mimpinya, ia melihat dirinya dalam sebuah peti mati, didandani, dan disembah banyak orang. Ia tinggal bersama Clarissa, gadis periang yang memiliki tingkah laku unik dengan kisah cintanya yang penuh dengan teka-teki.

Hingga akhirnya, perjalanan hidup penuh cinta, canda, kebahagiaan, impian, tangisan, dan harapan, menyadarkan mereka bahwa di dunia ini ‘kita tidak pernah berjalan sendiri’, selalu ada perlindungan Tuhan yang meliputi langkah kita.

Bagaimana Diana dan Clarry mengukir persahabatan indah mereka di Negeri Lord Camblle?

Bagaimana pula hari-hari bersama yang menyenangkan direnggut dari kehidupan Clarry yang ceria?

Negeri kecil itu, walau hanya sebentar, memberikan beribu-ribu kenangan manis dan tragis untuk mereka....

Minggu, 13 Maret 2011

Behind The Process

Di posting kali ini, aku akan membahas sedikit tentang sebuah kisah yang pernah menemani hari-hariku, di sela-sela semester tiga lalu. Sebuah kisah fiksi yang lumayan menyita waktu liburan semester. Di sini aku pengen berbagi pengalaman dan menceritakan suka duka di balik proses penggarapan kisah tersebut. Berhubung, Alhamdulillah, cukup banyak yang merespon positif, bahkan ada beberapa orang pembaca yang memintaku membuat kelanjutan ceritanya, so, aku tertarik untuk menceritakan misteri yang ada di balik itu semua, baik itu proses pembuatannya, ataupun tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Hehe… abiss, banyak yang tanya, ‘itu kisah nyata, ya?’ kalau ditanya seperti itu, aku langsung refleks jawab ‘menurut loe?’

Dan inilah proses di balik pembuatan novel ‘HearT ReflectionS’.

Diawali dari masa awal liburan semester tiga sekitar satu setengah bulan. Meski gak terlalu ambil jatah waktu banyak, tapi diusahakan aku konsisten dan secara teratur menulis setiap harinya, selama liburan itu. Itu juga untuk menjaga mood. Berhubung dulu itu aku lagi sedeng2nya facebook addict, jadi itulah kendala utama yang kadang bikin target-target gak tercapai. Atau pas lagi waktunya nulis, mata udah cape duluan karena abis dipake facebookan. Yah, tapi, itulah proses, pasti ada hambatan dan godaan.

Acara tulis menulis ter’cutt’ sementara, karena harus menjalani Masa Pengenalan Fakultas dan Departemen, yang pastinya membutuhkan perhatian, waktu, dan tenaga yang super. Jadi, paling kalaupun sempet melanjutkan, di malam hari. Tapi, kadang malam hari juga dipake kerjain tugas2. Jadi, hehe... gak keburu. (Padahal targetnya selesai liburan naskah jadi).

Dan, akhirnya, saat masuk semester tiga, dan selama berjalannya semester tiga, aku sama sekali gak melanjutkan proses pembuatan naskah, karena lebih fokus ke kuliah, lebih lagi, kampusku jauh dan sering keluar kelas sore, jadi pas sampe rumah udah gelap dan tepar duluan, kalau ada waktu pun, pasti diluangkan untuk tugas-tugas wajib negara.

Baru, pas akhir semester. UAS terakhir, menjelang libur panjang, aku bertekad melanjutkannya lagi. Kali ini, alhamdulillah targetku berhasil. Minggu pertama libur semester 3 akhir, rampung juga itu naskah. Tapi, masih ada tahap pengeditan dari awal sampai akhir. Untuk koreksi tanda baca dan kepaduan antar kalimat, (udah kaya Metode Penelitian dan Penyajian Ilmiah aje) J

Proses penggarapan novel itu agak-agak percis kayak proses kehamilan....

Proses Pembuatan Naskah = Merawat kandungan (gak tega bilang 'proses pembuatan kandungan')

Naskah / Hasil Karya = Janin,

Terbit = Melahirkan.

Kadang malah waktu itu, aku sempet bilang, ‘Tenang Ya Nak, ibu akan melahirkanmu ke dunia...” (ke naskah novel yang baru aja diprint) hoho... ‘agak2 kayak anak autis psikopat!’

Yah, jadi intinya, kalau mau buat naskah novel fiksi, harus niat dan sabar. Aku pernah, dulu waktu SMP, gak niat dan gak sabar. Ehh... jadinya beneran Gak jadi! (dan semua hal memang harus diawali dengan niat dan didampingi oleh kesabaran)

Kembali lagi ke novel ‘Heart Reflections’ setelah baca ulang, aku agak-agak serem jg sih sama diri sendiri. Aku kira, novel ‘Shadow of Death’ (novel pertamaku) adalah novel pertama dan terakhir yang aku buat. Karena pernah sempat bertekad untuk berhenti menulis, karena sesuatu hal yang tak bisa dijelaskan oleh nalar... “hhe... tp, pokoknya alhamdulillah lah, semua ini juga atas pertolongan Allah. J There’s can be Miracle… When u Believe!

Kalau kita bahas ‘kisahnya’, sebenernya agak-agak terinspirasi dari kehidupan nyata juga sih. Inspirasi itu kan banyak, jadi, jujur, aku terinspirasi dengan kehidupanku sendiri dan orang lain tentunya. Of course, itu yang harus diakui para penulis atas tulisannya. Yah, kalau enggak ada sama sekali diambil dari kehidupan nyata, dijamin, emosi ceritanya jadi kurang dapet. Perhatikan Laskar Pelangi Andrea Hirata, Lima Menara Fuad. Contoh novel2 dahsyat yang terilhami dari kisah nyata.

Hanya aja, mungkin, memang ada kolaborasi antara fakta dan khayalan. Terinspirasi kisah nyata bukan artinya harus benar-benar percis dengan kejadian nyata yang telah berlangsung.

Di dalam novel Heart Reflections, bagi yang udah baca, pasti gak asing lagi dengan nama ’Dirghantara Esa Putra’ dan ’Danisha Farizy’. Dua karakter yang sangat berlainan. Untuk menuliskan dalam dua sudut pandang kita butuh ’bisa membedakan watak keras dan tegas, pria dan wanita, konsisten dan labil. Sebelum membuat novel ini, aku coba baca buku-buku psikologi kepribadian yang membedakan antara otak pria dan wanita. Hehe.. Gak mau dong, pas sudut pandang yang seharusnya pria banget, kita buatnya malah jadi feminim. Hehe... nanti berasa kemayu dong jadinya... ^^

Novel ini menggunakan lebih dari dua sudut pandang. Nano-nano, campur-campur. Bergilir. Dan jujur, aku lebih nyaman menulis saat sedang sudut pandang ’Danisha’. (karena mungkin, kadang, suara hati Danisha, yang suka protes, kadang, itu adalah pelampiasan pikiran2ku sendiri dan juga memang karena dia itu perempuan, jadi pas nulis, ya lepas aja, sentimental, sarkatisnya luas. Jadi berasa bebas).

Aku baru pertama kali nulis novel dengan sudut pandang pria. Dan itu yang aku takutin banget, takut gak berasa ’pria’. Hhe... Tapi, akhirnya, ’kata orang’, bahkan nyaris semua orang yang telah membaca novel ini berkata bahwa, mereka menyukai tokoh ’Dirgha’. Dan, bahkan beberapa orang dari mereka menginginkan judul novelnya itu ’Dirgha’ bukan ’Heart Reflections’. Hhehe... *bjimane ceritanye?!

Judul Heart Reflections, terinspirasi dari kata ’Hati’ yang artinya ambigu. Bisa konkrit bisa abstrak. Aku ingin pembaca terlibat dalam cerita, mengira-ngira apa yang terjadi, gak jarang aku menyisipkan keambiguan di dalam kisah itu. Tapi justru itu, aku ingin pembaca gak hanya membaca, tapi juga membayangkan, merasakan, dan berfikir. Ikut aktif menduga.

Heart = Jantung, Heart = Hati

Reflections = Pencerminan.

Yang udah baca, pasti tau semua makna yang tersembunyi dalam judul itu.

Mengenai hal Respon pembaca, beraneka ragam. Ada yang datang-datang langsung ngatain aq tega, ada juga yang langsung nyekek, seolah aku ini Momo (nama tokoh antagonis di novel itu). Ada yang berbinar-binar, dan sebaliknya, ada juga yang nelepon, lewat HP (beda operator) dan menangis. (*nangis beneran) 0,0v hehe, piss ahh! Dan aku hanya berusaha menghibur, apalagi saat ditanya oleh beliau, apakah itu kisah nyata? Aku refleks jawab, ‘enggak lah, bukan banget kok, gak ada satu pun hal nyata di novel itu’. Dan memang iya, jikapun ada, itu hanya ‘terinspirasi’. Terinspirasi bukan artinya harus ‘percis sama’.

So, semua itu kolaborasi banyak hal. J

Pembentukan tokoh, setting tempat, waktu, kejadian, semuaaa kolaborasi.

Orang yang mengenalku dan membaca novel itu, rata-rata mengaku terbayang-bayang wajahku saat membaca setiap babnya. Tapi ada juga yang tak menyangka, aku, seorang anak manusia yang sering kesulitan berkonsentrasi, sering tak serius dan sering ketawa-ketawa melebihi batas kewajaran, dan sangat tidak romantis, bisa menuliskan kata-kata itu. Mereka berkata bahwa aku mampu ‘menghidupkan’ jiwa tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Dan, pernyataan itu kurasa salah besar, justru akulah yang merasa, Allah ‘menghidupkan’ jiwaku lewat tokoh-tokoh itu.

Aku belajar banyak dari tokoh-tokoh fiksi itu. Kadang, aku merasa tidak bisa seperti mereka, atau jika aku mulai mengeluh, mulai ingin menyerah pada keadaan, mulai ingin menyalahkan, jika kuingat kisah itu, aku merasa tak pantas mengeluh, tak pantas menyalahkan, tak pantas menyerah. Karena, jika kulakukan semua proses menuju kekalahan itu. Berarti aku adalah orang yang munafik.

Aku memang tak sebaik tokoh yang kuciptakan, terkadang, sandiwara selalu memperlihatkan sisi baik dan jahat dunia saja. Padahal, rata-rata manusia mengalami pasang-surut iman. Tak selamanya manusia baik, tak selamanya manusia jahat.

Jangan lihat siapa yang menyampaikan pesannya, tapi lihatlah apa isi pesannya. Meskipun aku bukan orang yang sempurna baik, bahkan kadang aku melalaikan banyak hal. Namun, aku akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. ^^

Dan terakhir, Ending...

Ambigu!

Itu yang membuat banyak temen yang udah baca minta aku melanjutkan ceritanya. Jujur, aku ini jahat lho... hhe... coz gak terlalu suka sama ending yang bahagia, kalaupun harus bahagia, aku akan buat ending itu ambigu.

Dari semua permintaan lanjutan sekuel. Dalam hal ini, aku gak ‘keep my mind wide open’. Untuk saat ini, aku pengen pembacalah yang mempersepsikan sendiri jalan ceritanya setelah itu, sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Setiap orang pasti mempunyai harapan masing-masing, yang tak jarang berbeda satu sama lainnya… So, dalam hal ini, aku gak mempunyai rencana untuk membuat sekuel ke-2. Aku ingin kisah ini menjadi kisah interaktif yang inspiratif...

Karena aku sangat berharap, kisah ini dapat menginspirasi para pembaca, termasuk penulis sendiri… J

Senin, 07 Maret 2011

SOLITUDE

Hari ini, mungkin berawal dari kesal yang tak beralasan, hanya kesedihan yang dipersilahkan menjenguk kesunyian yang sangat kunantikan. Sunyi. Aku suka kesunyian, karena lewat kesunyian, sepi datang memberi tanda, bahwa kita semua butuh bahagia. Dan bahagia, bukanlah harus selalu memiliki keramaian.

Saat ini, kusaksikan diri ini sebagai penonton, menyaksikan jalannya semesta raya yang semestinya. Berbagi senyum pada orang lain, meski saat sunyi, aku malas memberikan senyum pada diri sendiri. Bukan karena ketidakikhlasan, namun hanya ingin memanjakan kepedihan, memenjarakan jerat tawa yang berusaha merawat luka. Yah, aku hanya ingin pulih dari rasa pedih, karena berat rasanya tersenyum ditengah kesedihan. Berat rasanya tertawa ditengah duka. Aku hanya ingin memanjakan kesedihan, sebentar saja...

Aku bukanlah pengungkap yang hebat, bibirku tak dapat berucap saat berhadapan dengan tatap-tatap mata menjerat penuh tanya. Aku mungkin hanya bisa terdiam, atau mengungkapkan beberapa patah kata inti saja. Yang mungkin, itu pun tak kau mengerti. Aku pun tak pandai menarik perhatian dengan seni tulisan. Mungkin, tulisan ini pun tak kan pernah kau baca. Karena, aku tak pernah memaksa siapapun untuk membaca hal-hal yang tak mempengaruhi hidup manusia.

Aku memang tak memiliki kuasa apapun, aku hanyalah manusia, yang biasa, dan akan binasa. Dan ketika hari kebinasaanku datang, mungkin tak banyak manusia yang datang ke persinggahan terakhirku, karena aku pun tak pernah memaksa mereka datang ke tempat peristirahatan terakhirku, dan karena aku memang hanyalah manusia biasa, yang pasti binasa. Hanya akan ada saudara, tetangga, dan sahabat-sahabat dekat menyentuh nisanku. Lalu pergi, berlalu... dan, melupakan?

Hanya satu hal yang ingin kutinggalkan untuk mereka. Bukan lewat pesan-pesan ini, bukan lewat ucapan manis ataupun tulisan-tulisan yang pernah kutulis. Bukan karena filosofi, bukan karena diksi. Tapi karena kebersamaan yang pernah terjalin di antara kita. Dan manfaat yang didatangkan dari kebersamaan yang indah di hari-hari sebelumnya.

Aku takut binasa tanpa sempat meminta maaf pada kalian....

Terimalah pesan maaf ini, yang mungkin tak bisa terjabar dengan rinci.

Aku, sebagai saudara, anak, teman, sahabat kalian...

Ingin meminta maaf, sebelum langkahku terhenti di kilometer terakhir yang tak bisa lagi kujangkau.

sumber gambar : redbubble.com

Rabu, 02 Maret 2011

HANYA TEREKAM

Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa Kau rindu, karena langkah melepuh tanpa diriMu, karena hati telah letih…

Aku ingin Kau tahu, bahwaku, selalu memujaMu, tanpaMu sepinya waktu merantai hati, bayangMu seakan-akan… Kau seperti nyayian dalam hatiku yang memanggil rinduku padaMu, seperti udara yang kuhela Kau selalu ada…

Hanya diriMu yang bisa membuatku tenang, tanpa diriMu aku merasa hilang…

Dan sepi…

Sepenggal bait-bait yang diambil dari sebuah lagu berjudul… ‘Dealova’.

Tersentuh, itulah perasaanku saat mendengarkan lagu seperti itu, aku suka mendengarkan lagu, mungkin, ilmuku terlalu dangkal untuk memahami hukum mendengarkan lagu dan musik, namun, yang selalu kurasakan seumur hidup ialah, aku menyukai musik. Dan mengubah perasaan itu adalah suatu hal yang sulit.

Ketika mengetahui fakta bahwa otak kirimu yang lebih berkembang dibanding otak kanan, mungkin mudah untuk berhenti menyukai musik. Namun, ketika banyak penelitian membuktikan bahwa orang dengan otak kanan lebih dominan keceradasan musikal. Ia akan sangat menyukai musik, dan dia akan sulit untuk melupakan bahwa musik memang ada di dunia ini.

Orang dengan otak kanan dominan, akan sering terngiang-ngiang di pikirannya, lagu kesukaannya, dan itu bukanlah hal yang disengaja. Secara alami, ketika ia mendengarkan musik yang ia sukai, sekali, ia akan merasakan seperti ada yang menyanyikan lagu itu lagi di otaknya. Terekam, tak disengaja, dan tak bisa dihindari.

Namun, ada cara pandang lain di tengah maraknya musik-musik yang sering ‘terdengar’ di telinga. Tak semua musik itu baik, dan Tak semua jenis musik yang kusukai. Aku pernah belajar piano, gitar, dan bass, hanya sekilas2 saja. Tapi walaupun begitu, aku sangat menikmatinya. Dan mudah bagiku untuk mengikuti instruksi-instruksinya. Meski kini, tak ada sarana yang menghubungkanku dengan kegemaran itu lagi. Dulu, aku sempat bercita-cita ingin menjadi pianist. Namun, karena banyak keadaan yang tak memungkinkan, kini aku hanya menjadi pengagum saja. Dan aku menikmatinya. J

Aku suka musik klasik dan mellow yang biasanya dihasilkan dari gelombang cello, biola, dan piano. Aku kurang suka suara gitar, karena semellow apapun, suara gitar tetap ’khas’ dan agak keras, apalagi untuk seorang yang mempunyai kepribadian ’melankolis dominan’. Dan kadang, aku merasa, itulah aku.

Kembali lagi pada lagu di atas, lagu itu adalah salah satu soundtrack sebuah film berjudul sama dengan judul lagunya, diangkat dari sebuah novel teenlit yang terkenal pada tahun 2005. Sebenarnya, lagu itu bercerita tentang kisah sepasang adam dan hawa yang terikat dalam kisah cinta, seperti layaknya lagu-lagu cinta lain. Tapi, ketika aku mendengarnya, ataupun mendengar lagu-lagu cinta lain, aku selalu berusaha untuk memikirkan liriknya dari sudut pandang yang berbeda.

Seperti, tentu saja, kata ’Mu’ di dalam lagu itu sebenarnya dimaksudkan untuk sang kekasih hati, atau lebih populer disebut ’pacar’. Tapi, ketika mendengar atau terdengar lagu itu, aku sering mengartikan lirik itu dari dimensi yang berbeda. Kutempatkan perasaan itu untuk Tuhan. Bahkan, jika aku telah berada jauh dariNya, dan merasa segala sesuatu tak dapat menyentuh hatiku kembali. Kesadaran muncul ketika aku mendengar lagu-lagu yang dapat mengundang perenungan dan muhasabah.

Intinya, masing-masing orang mencintai, mengungkapkan perasaan cintanya dengan cara yang berbeda-beda. Hanya Allah yang tahu, hanya Allah yang boleh menilai, seberapa benar ungkapan cinta masing-masing hamba. Aku pun tak berani membenarkan caraku dan menyalahkan cara orang lain. Seperti aku sesungguhnya telah mengetahui hukum musik, namun, aku hanyalah manusia yang tak luput dari pikiran holistik dan perasaan kritis. Dan karena itu pula, aku sering bertanya ’musik seperti apa dulu, yang diharamkan?’ mengingat segala hal yang dapat mengingatkan kita pada Tuhan adalah baik.

Tentang ini, memang ada pro dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa musik apapun tidak boleh, ada pula yang berpendapat bahwa ada beberapa jenis musik yang diperbolehkan, ada pula yang tak ragu berpendapat bahwa musik itu diperbolehkan.

Dan aku yakin, mereka mempunyai dalil-dalil yang menguatkan tentang pendapat2 itu. Dan kembali lagi pada diri ini di situasi seperti ini, karena aku, tak mungkin tak pernah tidak mendengarkan musik. Meskipun aku tutup telinga pun, musik akan selalu terdengar... baik disengaja ataupun ’tidak disengaja’. Dan saat ini, yang bisa kulakukan adalah menempatkan musik sebagai ’salah satu cara’ untuk mensyukuri nikmat Tuhan.