Sumber Gambar : ipnuralam.wordpress.com
Goresan tinta
melukiskan banyak kisah yang tersimpan sepanjang sejarah kehidupan manusia,
anugerah terindah dari Sang Pemilik Jiwa dan Raga. Saat ini, bukan hanya aku, tapi kita, mereka,
kalian, dan semua manusia, adalah penulis sejati. Hanya dengan perasaan cinta
yang universal, namun kompleks dijelaskan, ataupun dengan rasa rindu yang tak
tersampaikan, hingga mengalirlah kata-kata terlintas dalam hati, yang dapat
kita ungkap lewat tulisan.
Aku terlahir dengan bantuan
alat vaccum, alat vaccum yang mungkin mempengaruhi fungsi otakku,
hingga waktu kecil, aku ’sedikit’ berbeda dengan teman-temanku. Guru-guru SD
mencurigai kejanggalan pada anak kecil nakal dan bodoh yang selalu tidak paham
apa yang beliau ajarkan ini, terutama dalam pelajaran membaca dan menulis. Hingga
pada akhirnya aku menyadari, memang benar, there’s something wrong with
me...!
Aku baru bisa membaca dan
menulis saat kelas 4 SD, bisa dibayangkan, di mana anak-anak lain sudah sangat lancar
membaca dan menulis, bahkan, adikku saja dari TK sudah menjadi MC di acara
sekolah yang pastinya membutuhkan keahlian membaca dan berbicara yang lancar.
Sumber gambar : sekolah123.com
Masa-masa kelas 1 hingga kelas
3 SD adalah masa-masa tersuram. Bagaimana tidak, setiapkali diadakan ujian, aku
hanya melihat huruf-huruf berbaris bergoyang menari indah menjadi bentuk-bentuk
yang kuinginkan. Bahkan, aku sampai lupa kalau saat itu sedang ujian, dan malah
asyik mewarnai huruf-huruf yang mempunyai bolong, seperti huruf ‘a, b, d, o’
dan lain sebagainya. Hingga wali kelasku menggeleng-geleng kepala dan
memanggilku secara eksklusif.
Di sebuah ruangan kuno bekas
bangunan Belanda, yang saat itu telah berubah menjadi ruangan kelas, aku
berbicara dari hati ke hati dengan guruku. Sebut saja namanya, Ibu Desi. Ibu
Desi adalah wali kelasku dari kelas 1 hingga kelas 3. Guru di SD-ku hanya
sedikit waktu itu, ditambah sekolahku ialah sekolah yang amat terpencil, dengan
gaya bangunan khas setting latar film horror. Gaya bangunan Belanda,
sarang laba-laba, dinding-dinding dingin kusam, dan retak seolah bercerita
tentang sejarah di masa lalu. Membuatku ingin menggambarkannya lewat sebuah
ungkapan, yang entah harus kunamakan apa. Karena, faktanya, saat itu, aku
tidaklah mempunyai daya dan upaya untuk mengapresiasikan perasaan takut
sekaligus kagum itu pada bangunan sekolahku dulu. Aku hanyalah anak yang tak
bisa menulis dan membaca, yang saat itu merasa sedang diadili oleh seorang
pahlawan tanpa tanda jasa, bernama, Ibu Desi.
Ia memperlihatkan
lembar-lembar ujianku dengan nilai yang, amazing…! Luar biasa buruk!
Angka itu berwarna merah mengambang di hadapanku, menembus penglihatanku,
berbentuk telinga monyet.
”Kamu ini, masa udah kelas 3
SD gak bisa membaca dan menulis! Tulisan kamu terbalik-balik, lihat, kata ini
seharusnya ’buku’ bukan ’duku’. Apa kamu tidak bisa membedakan antara huruf
’b’ dan ’d’? Tidak bisa juga membedakan huruf ’u’ dan ’n’? Kenapa semua
jadi terbalik-balik seperti ini?!” beliau menuduhku sekaligus dengan nada
prihatin, lebih lagi karena memang, dulu aku termasuk anak sadis yang tidak
hanya bodoh, tapi juga nakal, terbukti dengan sering memalak uang jajan teman
dan sering usil memerosoti celana olah raga teman! Benar-benar anak yang tidak
bermoral.
Aku hanya diam, saat Ibu Desi
mengajaku berbicara, bahkan aku tidak takut sama sekali dengan ancaman beliau
ingin memanggil orangtuaku ke sekolah. Dan setelah hari itu, Ibu Desi selalu
memberikan PR, menulis huruf anggun. Namun selalu berhasil kukerjakan dengan
baik, tak sulit bagiku saat itu, karena memang itu seharusnya pelajaran anak
TK. Aku selalu bisa meniru apa yang Ibu Desi tuliskan di baris paling atas.
Tentu saja itu mudah, tapi entahlah, mengapa aku selalu tidak bisa jika tidak
memakai contoh nyata yang terlihat.
Dahulu, aku sering menggambar
di bawah tangga, mengkhayati bangunan tua yang setiap hari kulihat, kumasuki,
dan membayangkan suatu saat bangunan itu berubah menjadi modern. Imajinasiku
terbang, membayangkan kejadian apa saja yang mungkin terjadi sebelum bangunan
tua itu dijadikan sekolah, lebih lagi di belakang sekolah terdapat sumur angker
dan rumah Belanda yang konon kabarnya, kosong sejak seratus tahun yang lalu,
tak dihuni, tepatnya ’tak ada yang berani’ menghuni tempat itu lagi. Aku sering
mengintip dari taman belakang sekolah bersama teman-teman satu spesies, (sesama
anak nakal). Mengamati apakah ada kehidupan di sana. Dan yang pernah kusaksikan
dengan mata kepalaku sendiri adalah, saat aku mengintip, aku melihat
nenek-nenek berhidung mancung sedang duduk di kursi goyang. Sedangkan di tembok
terlihat baju khas tentara kolonial Belanda yang digantung di sebuah paku
berkarat yang menancap pada tembok kusam.
Hanya aku yang berani
mengintip rumah itu, karena, untuk mengintip rumah itu hingga terlihat
dalamnya, diperlukan keahlian memanjat dan merayap di tembok yang sangat ekstrim.
Dan saat itu hanya aku yang berani memanjatnya. Saat aku turun ke bawah,
teman-temanku menagih cerita tentang apa yang telah kulihat di sana. Dan dengan
wajah ekspresif ekstra lebay, aku menceritakan pada teman-temanku apa
yang telah kulihat, tentunya dengan ’sedikit’ improvisasi.
”Aku tadi lihat nenek-nenek
lagi duduk di kursi goyang sambil makan darah, udah gitu di tembok ada baju
tentara Belanda yang berlumuran darah, terus nenek-nenek itu mukanya rata, ihh...
angker banget deh pokoknya!” teman-temanku memasang tampang ngeri, sekaligus
penasaran, dan herannya mereka percaya saja dengan cerita konyolku itu. Aku
terus bercerita dengan sangat seru, dan sangat bohong tentunya. Melihat teman-temanku ketakutan, ada
perasaan puas menjalar di seluruh batinku. Saat itu juga, aku merasa sudah
menyelesaikan satu cerita horror fiksi yang kukarang sendiri secara spontan.
Suatu
hari menjelang kenaikan kelas ke kelas 4, Ibu Desi memanggilku lagi. Kali ini,
kulihat ibuku bersamanya. Ibuku memasang wajah ingin marah tapi tampak ditahan
karena ada Ibu Desi di sana, aku bisa menduga, cerita apa saja yang mereka bagi
bersama tentangku. Tentang kepayahanku dalam menulis dan membaca, tentang
kejahilan dan keusilanku, tentang seorang pembohong ulung yang suka
menakut-nakuti anak orang! Seketika aku merasa menjadi terdakwa dan siap
dimasukan penjara. Namun dugaanku salah. Ibu Desi tersenyum, ia memegang cermin
seukuran buku tulis. Ia berkata pada ibuku.
”Bu,
sepertinya anak ibu mengalami disleksia. Disleksia adalah ketidakmampuan
seseorang untuk belajar membaca dan menulis. Baik berupa huruf ataupun angka,
ataupun yang berbentuk kalimat. Anak disleksia sulit menerima pelajaran membaca
dan menulis. Ia sulit mengeja huruf, dan sering terbalik-balik menuliskan
huruf-huruf yang mempunyai struktur yang hampir sama. Seperti ini...” Ibu Desi
memperlihatkan lembar-lembar ujianku yang memprihatinkan, dengan banyak angka
dan huruf terbalik dan gambar-gambar kartun. Sempat-sempatnya aku menggambar di
lembar ujian. Luar biasa jika mengingat lagi hal itu! Yah, mungkin saat itu
kemampuan membaca dan menulisku memang payah, tapi jika ada pelajaran kesenian,
seperti menggambar, memainkan alat musik, aku agak unggul dari teman-teman yang
lain. Dan gambaranku selalu mengerikan. ’Gambar bangunan atau rumah tua yang
sangat menyedihkan.’ Entah kenapa, waktu kecil, aku seringkali terobsesi dengan
hal-hal horror!
Ibu
Desi tak hanya sekedar memberitahukan informasi tentang disleksia, tapi juga
menyarankanku untuk banyak berlatih membaca dan menulis. Jujur, dari beliau dan
bangunan tua sekolahku’lah pertama kali aku terinspirasi untuk mulai menulis
dan membaca. Setiap hari beliau mengajarkanku menulis, menggunakan kaca, hingga
aku dapat membedakan huruf demi huruf seperti orang normal kebanyakan. Semenjak
saat itu, ibuku sering membelikanku buku-buku anak. Tapi, yang kubaca hanya
buku-buku yang covernya mencurigakan dan menyeramkan, seperti buku-buku RL.
Stine.
”Belajarlah
menulis, kalau sudah bisa, pasti kamu ketagihan, menulis itu salah satu seni
menata hati... Tuangkan hal apapun yang kamu sukai, tuliskan apa yang tak mampu
kamu katakan, lukislah perasaanmu lewat tulisan, dan temukan keajaiban...”
Ucapan Bu Desi selalu terngiang-ngiang di langit-langit kamarku, menghantuiku.
Dan sejak saat itu, aku mulai mencoba menulis Diary, dan mulai menuangkan hobi
berbohong’ku ke arah yang lebih berguna, yaitu mulai menulis cerpen-cerpen horror
fiksi di buku tulis. Entah kenapa, aku menyukai latihan menulis dengan gaya seperti
itu, hingga dengan cepat aku bisa menulis lancar seperti manusia yang tidak
mempunyai sejarah disleksia samasekali.
Dulu aku tak tahu apa itu
disleksia, aku baru mendapat informasi lengkap tentang disleksia saat menginjak
usia remaja. Disleksia terjadi karena ketidakstabilan kerja otak bawaan dari
lahir, namun kini, aku tahu, semua hal pasti ada hikmahnya, tidak ada yang
tidak mungkin. Seorang Albert Einstein pun bahkan mengalami disleksia.
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa
yang pada diri mereka.” (QS. Ar Ra’d : 11)
Semua peristiwa yang Tuhan
hadirkan dalam kehidupan kita pasti akan selalu mengandung hikmah. Dan ’disleksia’
tidak akan menghalangiku untuk tetap berkarya.
*Kisah ini telah dibukukan bersama kisah kawan-kawan lainnya dalam buku kumpulan kisah nyata "Inspirasiku Menulis", yang diterbitkan oleh Leutika Prio, Tahun 2011.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.