Sabtu, 30 Maret 2013

ME VERSUS DISLEKSIA (TRUE STORY)


Sumber Gambar : ipnuralam.wordpress.com

Goresan tinta melukiskan banyak kisah yang tersimpan sepanjang sejarah kehidupan manusia, anugerah terindah dari Sang Pemilik Jiwa dan Raga. Saat ini, bukan hanya aku, tapi kita, mereka, kalian, dan semua manusia, adalah penulis sejati. Hanya dengan perasaan cinta yang universal, namun kompleks dijelaskan, ataupun dengan rasa rindu yang tak tersampaikan, hingga mengalirlah kata-kata terlintas dalam hati, yang dapat kita ungkap lewat tulisan.
Aku terlahir dengan bantuan alat vaccum, alat vaccum yang mungkin mempengaruhi fungsi otakku, hingga waktu kecil, aku ’sedikit’ berbeda dengan teman-temanku. Guru-guru SD mencurigai kejanggalan pada anak kecil nakal dan bodoh yang selalu tidak paham apa yang beliau ajarkan ini, terutama dalam pelajaran membaca dan menulis. Hingga pada akhirnya aku menyadari, memang benar, there’s something wrong with me...!  
Aku baru bisa membaca dan menulis saat kelas 4 SD, bisa dibayangkan, di mana anak-anak lain sudah sangat lancar membaca dan menulis, bahkan, adikku saja dari TK sudah menjadi MC di acara sekolah yang pastinya membutuhkan keahlian membaca dan berbicara yang lancar.

Sumber gambar : sekolah123.com

Masa-masa kelas 1 hingga kelas 3 SD adalah masa-masa tersuram. Bagaimana tidak, setiapkali diadakan ujian, aku hanya melihat huruf-huruf berbaris bergoyang menari indah menjadi bentuk-bentuk yang kuinginkan. Bahkan, aku sampai lupa kalau saat itu sedang ujian, dan malah asyik mewarnai huruf-huruf yang mempunyai bolong, seperti huruf ‘a, b, d, o’ dan lain sebagainya. Hingga wali kelasku menggeleng-geleng kepala dan memanggilku secara eksklusif.
Di sebuah ruangan kuno bekas bangunan Belanda, yang saat itu telah berubah menjadi ruangan kelas, aku berbicara dari hati ke hati dengan guruku. Sebut saja namanya, Ibu Desi. Ibu Desi adalah wali kelasku dari kelas 1 hingga kelas 3. Guru di SD-ku hanya sedikit waktu itu, ditambah sekolahku ialah sekolah yang amat terpencil, dengan gaya bangunan khas setting latar film horror. Gaya bangunan Belanda, sarang laba-laba, dinding-dinding dingin kusam, dan retak seolah bercerita tentang sejarah di masa lalu. Membuatku ingin menggambarkannya lewat sebuah ungkapan, yang entah harus kunamakan apa. Karena, faktanya, saat itu, aku tidaklah mempunyai daya dan upaya untuk mengapresiasikan perasaan takut sekaligus kagum itu pada bangunan sekolahku dulu. Aku hanyalah anak yang tak bisa menulis dan membaca, yang saat itu merasa sedang diadili oleh seorang pahlawan tanpa tanda jasa, bernama, Ibu Desi.
Ia memperlihatkan lembar-lembar ujianku dengan nilai yang, amazing…! Luar biasa buruk! Angka itu berwarna merah mengambang di hadapanku, menembus penglihatanku, berbentuk telinga monyet.
”Kamu ini, masa udah kelas 3 SD gak bisa membaca dan menulis! Tulisan kamu terbalik-balik, lihat, kata ini seharusnya ’buku’ bukan ’duku’. Apa kamu tidak bisa membedakan antara huruf  ’b’ dan ’d’? Tidak bisa juga membedakan huruf ’u’ dan ’n’? Kenapa semua jadi terbalik-balik seperti ini?!” beliau menuduhku sekaligus dengan nada prihatin, lebih lagi karena memang, dulu aku termasuk anak sadis yang tidak hanya bodoh, tapi juga nakal, terbukti dengan sering memalak uang jajan teman dan sering usil memerosoti celana olah raga teman! Benar-benar anak yang tidak bermoral.
Aku hanya diam, saat Ibu Desi mengajaku berbicara, bahkan aku tidak takut sama sekali dengan ancaman beliau ingin memanggil orangtuaku ke sekolah. Dan setelah hari itu, Ibu Desi selalu memberikan PR, menulis huruf anggun. Namun selalu berhasil kukerjakan dengan baik, tak sulit bagiku saat itu, karena memang itu seharusnya pelajaran anak TK. Aku selalu bisa meniru apa yang Ibu Desi tuliskan di baris paling atas. Tentu saja itu mudah, tapi entahlah, mengapa aku selalu tidak bisa jika tidak memakai contoh nyata yang terlihat.
Dahulu, aku sering menggambar di bawah tangga, mengkhayati bangunan tua yang setiap hari kulihat, kumasuki, dan membayangkan suatu saat bangunan itu berubah menjadi modern. Imajinasiku terbang, membayangkan kejadian apa saja yang mungkin terjadi sebelum bangunan tua itu dijadikan sekolah, lebih lagi di belakang sekolah terdapat sumur angker dan rumah Belanda yang konon kabarnya, kosong sejak seratus tahun yang lalu, tak dihuni, tepatnya ’tak ada yang berani’ menghuni tempat itu lagi. Aku sering mengintip dari taman belakang sekolah bersama teman-teman satu spesies, (sesama anak nakal). Mengamati apakah ada kehidupan di sana. Dan yang pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri adalah, saat aku mengintip, aku melihat nenek-nenek berhidung mancung sedang duduk di kursi goyang. Sedangkan di tembok terlihat baju khas tentara kolonial Belanda yang digantung di sebuah paku berkarat yang menancap pada tembok kusam.
Hanya aku yang berani mengintip rumah itu, karena, untuk mengintip rumah itu hingga terlihat dalamnya, diperlukan keahlian memanjat dan merayap di tembok yang sangat ekstrim. Dan saat itu hanya aku yang berani memanjatnya. Saat aku turun ke bawah, teman-temanku menagih cerita tentang apa yang telah kulihat di sana. Dan dengan wajah ekspresif ekstra lebay, aku menceritakan pada teman-temanku apa yang telah kulihat, tentunya dengan ’sedikit’ improvisasi.
”Aku tadi lihat nenek-nenek lagi duduk di kursi goyang sambil makan darah, udah gitu di tembok ada baju tentara Belanda yang berlumuran darah, terus nenek-nenek itu mukanya rata, ihh... angker banget deh pokoknya!” teman-temanku memasang tampang ngeri, sekaligus penasaran, dan herannya mereka percaya saja dengan cerita konyolku itu. Aku terus bercerita dengan sangat seru, dan sangat bohong tentunya. Melihat teman-temanku ketakutan, ada perasaan puas menjalar di seluruh batinku. Saat itu juga, aku merasa sudah menyelesaikan satu cerita horror fiksi yang kukarang sendiri secara spontan.
          Suatu hari menjelang kenaikan kelas ke kelas 4, Ibu Desi memanggilku lagi. Kali ini, kulihat ibuku bersamanya. Ibuku memasang wajah ingin marah tapi tampak ditahan karena ada Ibu Desi di sana, aku bisa menduga, cerita apa saja yang mereka bagi bersama tentangku. Tentang kepayahanku dalam menulis dan membaca, tentang kejahilan dan keusilanku, tentang seorang pembohong ulung yang suka menakut-nakuti anak orang! Seketika aku merasa menjadi terdakwa dan siap dimasukan penjara. Namun dugaanku salah. Ibu Desi tersenyum, ia memegang cermin seukuran buku tulis. Ia berkata pada ibuku.
          ”Bu, sepertinya anak ibu mengalami disleksia. Disleksia adalah ketidakmampuan seseorang untuk belajar membaca dan menulis. Baik berupa huruf ataupun angka, ataupun yang berbentuk kalimat. Anak disleksia sulit menerima pelajaran membaca dan menulis. Ia sulit mengeja huruf, dan sering terbalik-balik menuliskan huruf-huruf yang mempunyai struktur yang hampir sama. Seperti ini...” Ibu Desi memperlihatkan lembar-lembar ujianku yang memprihatinkan, dengan banyak angka dan huruf terbalik dan gambar-gambar kartun. Sempat-sempatnya aku menggambar di lembar ujian. Luar biasa jika mengingat lagi hal itu! Yah, mungkin saat itu kemampuan membaca dan menulisku memang payah, tapi jika ada pelajaran kesenian, seperti menggambar, memainkan alat musik, aku agak unggul dari teman-teman yang lain. Dan gambaranku selalu mengerikan. ’Gambar bangunan atau rumah tua yang sangat menyedihkan.’ Entah kenapa, waktu kecil, aku seringkali terobsesi dengan hal-hal horror!
         Ibu Desi tak hanya sekedar memberitahukan informasi tentang disleksia, tapi juga menyarankanku untuk banyak berlatih membaca dan menulis. Jujur, dari beliau dan bangunan tua sekolahku’lah pertama kali aku terinspirasi untuk mulai menulis dan membaca. Setiap hari beliau mengajarkanku menulis, menggunakan kaca, hingga aku dapat membedakan huruf demi huruf seperti orang normal kebanyakan. Semenjak saat itu, ibuku sering membelikanku buku-buku anak. Tapi, yang kubaca hanya buku-buku yang covernya mencurigakan dan menyeramkan, seperti buku-buku RL. Stine.
         ”Belajarlah menulis, kalau sudah bisa, pasti kamu ketagihan, menulis itu salah satu seni menata hati... Tuangkan hal apapun yang kamu sukai, tuliskan apa yang tak mampu kamu katakan, lukislah perasaanmu lewat tulisan, dan temukan keajaiban...” Ucapan Bu Desi selalu terngiang-ngiang di langit-langit kamarku, menghantuiku. Dan sejak saat itu, aku mulai mencoba menulis Diary, dan mulai menuangkan hobi berbohong’ku ke arah yang lebih berguna, yaitu mulai menulis cerpen-cerpen horror fiksi di buku tulis. Entah kenapa, aku menyukai latihan menulis dengan gaya seperti itu, hingga dengan cepat aku bisa menulis lancar seperti manusia yang tidak mempunyai sejarah disleksia samasekali.
Dulu aku tak tahu apa itu disleksia, aku baru mendapat informasi lengkap tentang disleksia saat menginjak usia remaja. Disleksia terjadi karena ketidakstabilan kerja otak bawaan dari lahir, namun kini, aku tahu, semua hal pasti ada hikmahnya, tidak ada yang tidak mungkin. Seorang Albert Einstein pun bahkan mengalami disleksia.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (QS. Ar Ra’d : 11)
Semua peristiwa yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita pasti akan selalu mengandung hikmah. Dan ’disleksia’ tidak akan menghalangiku untuk tetap berkarya. 


*Kisah ini telah dibukukan bersama kisah kawan-kawan lainnya dalam buku kumpulan kisah nyata "Inspirasiku Menulis", yang diterbitkan oleh Leutika Prio, Tahun 2011.

Tidak ada komentar: