Curved
Rows of Lavender near the village of Sault, Provence, France
Setapak jalan menuju surga yang tak
mudah, membentang dalam aroma kesulitan yang menyergap. Antara kenyataan dan kesesatan
melubangi jalinan raga yang telah kembali utuh. Antara keindahan dan keraguan
menyembunyikan sesal yang tak lagi akan bertanya. Siapa pemilik jiwa-jiwa yang
tak berpenghuni. Jiwa-jiwa yang kosong dan mengapung tanpa pelampung, akan
tenggelam dan binasa. Seperti asa yang berbahasa, seperti eloknya rupa taman
lavender menyerbu jendela. Namun berpayung pada selang kegelapan yang tak
pasti.
Dia
menyepi bertepi pada kesenyapan yang mulai redup, indahnya tak lagi ingin
dipandang. Harumnya tak lagi ingin dicumbui. Kerinduan sepi yang entah sampai
kapan akan bersembunyi. Hingga tiba waktunya tersudut mimpi, berbaur dengan
risau yang membelenggu bersama lelapnya harapan. Bukankah waktulah yang akan
menjawab atas kuasa Sang Tuhan? Bukankah takdir akan tercipta tanpa perlu
diberi aba-aba?
Violet
bersemi dalam kesendirian. Ia terjebak seorang diri dalam drama yang meratap
iba. Dalam asa yang tak lagi ada untuk kembali pulang ke rumah. Indah dan
menyendiri adalah penebus hidup yang tak ingin terusik. Biarlah awan kelabu
menjadi tirai keindahan yang akan berjalan beriringan dalam diorama lavender
yang tak pernah tercipta. Tak terusik kebahagiaanya, tak terusik raganya. Dan
bilapun tak akan pernah terpetik, tak diberi kesempatan untuk merubah warnanya,
ataupun tetap beraroma sunyi. Lavender biarlah menjadi bunga berwarna violet
yang tetap menjaga singgasananya. Tetap harum dan indah pada akar-akar kokoh yang
menggenggam tanah, hingga tiba waktunya untuk layu, dan tersapu kenangan pilu.
The world seems not the same.
Though I know nothing has changed,
It's all my state of mind,
I can't leave it all behind,
Have to stand up to be stronger.
I know,
Should realize,
Time is precious,
It is worthwhile,
Despite how I feel inside,
Have to trust it'll be alright.
Have to stand up to be stronger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada tanggapan???