Rabu, 28 Desember 2011

HAUNTED

All of my memories
Keep you near,
In silent moments
Imagine you'd be here,
All of my memories
Keep you near,
The silent whispers, silent tears...


***

Musim berganti, kenangan berlalu, pohon-pohon yang dahulu tumbuh subur kini menggugurkaun daunnya. Seolah ada yang menguapkan klorofil-klorofil kesegaran di dalamnya. Mentari mulai terbenam ketika tak ada lagi orang yang bersahut-sauhatan bisning berkeliaran. Daerah itu seperti rumah singgah di tepian belantara. Hampa dan mengungkap tanya.

Angin bertiup kencang menyerang, lalu perlahan melembut menghantar gerimis tak terlihat, terasa basahnya hingga melembab. Tanah dan rerumputan kering menampakan embun sebelum hujan. Kering yang melembab. Basah yang meranah. Kesepian yang berpuluh-puluh tahun tertinggal. Seseorang dalam derap langkah kaki menepi. Seseorang yang mengenal tempat itu berpuluh-puluh tahun lalu. Kini menapaki kembali jejak-jejak kenangan yang tertinggal.

Hanya kelelawar yang melintas menyapa di antara bercak langkah kaki yang tertata. Daun-daun kering terbang melayang tertiup angin, lalu terinjak. Suara burung gagak bermain-main menyerukan teriakan tak beraturan bersahutan kian lama kian menggema.

Siang menjelang sore. Sore menjelang malam. Seolah tak ada perbedaan diantaranya. Kegelapan bersarang mendeskripsikan cinta yang telah usang berkarat. Jiwa-jiwa yang menghantui mencoba datang melawan siapa yang berani menentang. Menghembuskan angin dingin melesat ke tengkuk hingga seluruh tubuh. Pandangan mata tajam memanah suatu sudut. Energi-energi tak wajar bergelombang terasa menjalar di sekujur akar.

Ranting-ranting pohon meringis sepi. Mengeluarkan suara tangisan panjang yang tak bertepi. Tak terdengar hingga ke ujung bumi. Kesemuan menantang jalannya musim yang berganti. Di sini. Di mana letak ujung kenangan membujur kaku bagaikan sesosok raga tak bernyawa dibenamkan dalam duka.

Puing-puing masa lalu menghantui. Kenangan kebahagiaan kembali terbayang meneruskan segala yang pernah terhenti. Terputus masa yang tak sanggup melanjutkan waktu yang kian cepat berganti. Menanti untuk saat-saat terkutuk, hingga takluk pada aroma-aroma busuk yang menusuk.

Hilang arah ketika kembali. Benda-benda usang bertebaran terlihat utuh kembali. Berbicara tentang masa yang telah tiada. Masa muda yang tak akan lagi sempat kembali. Terhitung banyaknya usia yang tersia. Terkubur dalam damai yang menyejukan harapan. Kini dia kembali, mencoba membangun masa itu kembali. Menyenandungkan lagu kenangan yang melengking bergema.

Berburu. Memburu.

Ketika segalanya tak ada lagi di sini. Ketika sekelebat bayangan hilang dan tenggelam. Tangga-tangga yang kusam. Sarang laba laba yang memerangkap cahaya. Atau lilin-lilin yang mati, kini menyala kembali, di matanya.

Rumah yang ditinggalkan.

Rumah yang pernah ramai akan canda dan tawa yang menggema. Anak-anak yang berlarian tanpa beban, remaja yang sedang tersenyum jatuh cinta, masa-masa dewasa yang bijaksana, hingga saat-saat terakhir meninggalkan jejak langkah di tempat ini. Terasa masih sama. Namun hampa tak tersisa.

Suara-suara itu masih menggema menghantui. Bayangan-bayangan masa lalu seolah memburu. Menghadirkannya di tengah-tengah benda mati yang akan tetap mati hingga akhir nanti.

Ia berjalan kembali dengan langkah yang telah renta. Sendiri. Menepi di dalam ruangan berkaca. Ia bercermin dan menatap wajah gadis yang masih segar belia. Tersenyum, menyentuh cermin. Bayangan dalam cermin berubah menjadi sosok wanita tua renta. Tersadar ia sedang berkaca pada cermin retak yang menyentak.

Tak lagi ada air mata. Namun hatinya terus berbicara...

“Kita pernah mengukir sejarah di rumah ini, sebagai satu keluarga. Kini yang tersisa hanyalah bias-bias kenangan yang masih terpatri dalam hati. Meskipun tak dapat lagi berbicara, meski telinga ini tak sanggup lagi mendengar seruan-seruan cinta dari mereka… Namun ruh ini tak akan pernah hilang terselang masa. Karena meskipun kita telah terpisah jauh entah di dimensi mana, meskipun sekat-sekat yang dulu tak terlihat kini sanggup memisahkan kasih sayang. Namun, jiwa ini akan selalu berjalan terus dengan senyuman harapan. Hanya Tuhan yang mengetahui segala. Semoga kita dipertemukan kembali di surga. Sebagai sebuah keluarga. Seperti sedia kala.”

1 komentar:

  1. mengingatkan teori duval tahapan ke delapan.. heheheh.. good job

    BalasHapus

Ada tanggapan???