Minggu, 13 Maret 2011

Behind The Process

Di posting kali ini, aku akan membahas sedikit tentang sebuah kisah yang pernah menemani hari-hariku, di sela-sela semester tiga lalu. Sebuah kisah fiksi yang lumayan menyita waktu liburan semester. Di sini aku pengen berbagi pengalaman dan menceritakan suka duka di balik proses penggarapan kisah tersebut. Berhubung, Alhamdulillah, cukup banyak yang merespon positif, bahkan ada beberapa orang pembaca yang memintaku membuat kelanjutan ceritanya, so, aku tertarik untuk menceritakan misteri yang ada di balik itu semua, baik itu proses pembuatannya, ataupun tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Hehe… abiss, banyak yang tanya, ‘itu kisah nyata, ya?’ kalau ditanya seperti itu, aku langsung refleks jawab ‘menurut loe?’

Dan inilah proses di balik pembuatan novel ‘HearT ReflectionS’.

Diawali dari masa awal liburan semester tiga sekitar satu setengah bulan. Meski gak terlalu ambil jatah waktu banyak, tapi diusahakan aku konsisten dan secara teratur menulis setiap harinya, selama liburan itu. Itu juga untuk menjaga mood. Berhubung dulu itu aku lagi sedeng2nya facebook addict, jadi itulah kendala utama yang kadang bikin target-target gak tercapai. Atau pas lagi waktunya nulis, mata udah cape duluan karena abis dipake facebookan. Yah, tapi, itulah proses, pasti ada hambatan dan godaan.

Acara tulis menulis ter’cutt’ sementara, karena harus menjalani Masa Pengenalan Fakultas dan Departemen, yang pastinya membutuhkan perhatian, waktu, dan tenaga yang super. Jadi, paling kalaupun sempet melanjutkan, di malam hari. Tapi, kadang malam hari juga dipake kerjain tugas2. Jadi, hehe... gak keburu. (Padahal targetnya selesai liburan naskah jadi).

Dan, akhirnya, saat masuk semester tiga, dan selama berjalannya semester tiga, aku sama sekali gak melanjutkan proses pembuatan naskah, karena lebih fokus ke kuliah, lebih lagi, kampusku jauh dan sering keluar kelas sore, jadi pas sampe rumah udah gelap dan tepar duluan, kalau ada waktu pun, pasti diluangkan untuk tugas-tugas wajib negara.

Baru, pas akhir semester. UAS terakhir, menjelang libur panjang, aku bertekad melanjutkannya lagi. Kali ini, alhamdulillah targetku berhasil. Minggu pertama libur semester 3 akhir, rampung juga itu naskah. Tapi, masih ada tahap pengeditan dari awal sampai akhir. Untuk koreksi tanda baca dan kepaduan antar kalimat, (udah kaya Metode Penelitian dan Penyajian Ilmiah aje) J

Proses penggarapan novel itu agak-agak percis kayak proses kehamilan....

Proses Pembuatan Naskah = Merawat kandungan (gak tega bilang 'proses pembuatan kandungan')

Naskah / Hasil Karya = Janin,

Terbit = Melahirkan.

Kadang malah waktu itu, aku sempet bilang, ‘Tenang Ya Nak, ibu akan melahirkanmu ke dunia...” (ke naskah novel yang baru aja diprint) hoho... ‘agak2 kayak anak autis psikopat!’

Yah, jadi intinya, kalau mau buat naskah novel fiksi, harus niat dan sabar. Aku pernah, dulu waktu SMP, gak niat dan gak sabar. Ehh... jadinya beneran Gak jadi! (dan semua hal memang harus diawali dengan niat dan didampingi oleh kesabaran)

Kembali lagi ke novel ‘Heart Reflections’ setelah baca ulang, aku agak-agak serem jg sih sama diri sendiri. Aku kira, novel ‘Shadow of Death’ (novel pertamaku) adalah novel pertama dan terakhir yang aku buat. Karena pernah sempat bertekad untuk berhenti menulis, karena sesuatu hal yang tak bisa dijelaskan oleh nalar... “hhe... tp, pokoknya alhamdulillah lah, semua ini juga atas pertolongan Allah. J There’s can be Miracle… When u Believe!

Kalau kita bahas ‘kisahnya’, sebenernya agak-agak terinspirasi dari kehidupan nyata juga sih. Inspirasi itu kan banyak, jadi, jujur, aku terinspirasi dengan kehidupanku sendiri dan orang lain tentunya. Of course, itu yang harus diakui para penulis atas tulisannya. Yah, kalau enggak ada sama sekali diambil dari kehidupan nyata, dijamin, emosi ceritanya jadi kurang dapet. Perhatikan Laskar Pelangi Andrea Hirata, Lima Menara Fuad. Contoh novel2 dahsyat yang terilhami dari kisah nyata.

Hanya aja, mungkin, memang ada kolaborasi antara fakta dan khayalan. Terinspirasi kisah nyata bukan artinya harus benar-benar percis dengan kejadian nyata yang telah berlangsung.

Di dalam novel Heart Reflections, bagi yang udah baca, pasti gak asing lagi dengan nama ’Dirghantara Esa Putra’ dan ’Danisha Farizy’. Dua karakter yang sangat berlainan. Untuk menuliskan dalam dua sudut pandang kita butuh ’bisa membedakan watak keras dan tegas, pria dan wanita, konsisten dan labil. Sebelum membuat novel ini, aku coba baca buku-buku psikologi kepribadian yang membedakan antara otak pria dan wanita. Hehe.. Gak mau dong, pas sudut pandang yang seharusnya pria banget, kita buatnya malah jadi feminim. Hehe... nanti berasa kemayu dong jadinya... ^^

Novel ini menggunakan lebih dari dua sudut pandang. Nano-nano, campur-campur. Bergilir. Dan jujur, aku lebih nyaman menulis saat sedang sudut pandang ’Danisha’. (karena mungkin, kadang, suara hati Danisha, yang suka protes, kadang, itu adalah pelampiasan pikiran2ku sendiri dan juga memang karena dia itu perempuan, jadi pas nulis, ya lepas aja, sentimental, sarkatisnya luas. Jadi berasa bebas).

Aku baru pertama kali nulis novel dengan sudut pandang pria. Dan itu yang aku takutin banget, takut gak berasa ’pria’. Hhe... Tapi, akhirnya, ’kata orang’, bahkan nyaris semua orang yang telah membaca novel ini berkata bahwa, mereka menyukai tokoh ’Dirgha’. Dan, bahkan beberapa orang dari mereka menginginkan judul novelnya itu ’Dirgha’ bukan ’Heart Reflections’. Hhehe... *bjimane ceritanye?!

Judul Heart Reflections, terinspirasi dari kata ’Hati’ yang artinya ambigu. Bisa konkrit bisa abstrak. Aku ingin pembaca terlibat dalam cerita, mengira-ngira apa yang terjadi, gak jarang aku menyisipkan keambiguan di dalam kisah itu. Tapi justru itu, aku ingin pembaca gak hanya membaca, tapi juga membayangkan, merasakan, dan berfikir. Ikut aktif menduga.

Heart = Jantung, Heart = Hati

Reflections = Pencerminan.

Yang udah baca, pasti tau semua makna yang tersembunyi dalam judul itu.

Mengenai hal Respon pembaca, beraneka ragam. Ada yang datang-datang langsung ngatain aq tega, ada juga yang langsung nyekek, seolah aku ini Momo (nama tokoh antagonis di novel itu). Ada yang berbinar-binar, dan sebaliknya, ada juga yang nelepon, lewat HP (beda operator) dan menangis. (*nangis beneran) 0,0v hehe, piss ahh! Dan aku hanya berusaha menghibur, apalagi saat ditanya oleh beliau, apakah itu kisah nyata? Aku refleks jawab, ‘enggak lah, bukan banget kok, gak ada satu pun hal nyata di novel itu’. Dan memang iya, jikapun ada, itu hanya ‘terinspirasi’. Terinspirasi bukan artinya harus ‘percis sama’.

So, semua itu kolaborasi banyak hal. J

Pembentukan tokoh, setting tempat, waktu, kejadian, semuaaa kolaborasi.

Orang yang mengenalku dan membaca novel itu, rata-rata mengaku terbayang-bayang wajahku saat membaca setiap babnya. Tapi ada juga yang tak menyangka, aku, seorang anak manusia yang sering kesulitan berkonsentrasi, sering tak serius dan sering ketawa-ketawa melebihi batas kewajaran, dan sangat tidak romantis, bisa menuliskan kata-kata itu. Mereka berkata bahwa aku mampu ‘menghidupkan’ jiwa tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Dan, pernyataan itu kurasa salah besar, justru akulah yang merasa, Allah ‘menghidupkan’ jiwaku lewat tokoh-tokoh itu.

Aku belajar banyak dari tokoh-tokoh fiksi itu. Kadang, aku merasa tidak bisa seperti mereka, atau jika aku mulai mengeluh, mulai ingin menyerah pada keadaan, mulai ingin menyalahkan, jika kuingat kisah itu, aku merasa tak pantas mengeluh, tak pantas menyalahkan, tak pantas menyerah. Karena, jika kulakukan semua proses menuju kekalahan itu. Berarti aku adalah orang yang munafik.

Aku memang tak sebaik tokoh yang kuciptakan, terkadang, sandiwara selalu memperlihatkan sisi baik dan jahat dunia saja. Padahal, rata-rata manusia mengalami pasang-surut iman. Tak selamanya manusia baik, tak selamanya manusia jahat.

Jangan lihat siapa yang menyampaikan pesannya, tapi lihatlah apa isi pesannya. Meskipun aku bukan orang yang sempurna baik, bahkan kadang aku melalaikan banyak hal. Namun, aku akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. ^^

Dan terakhir, Ending...

Ambigu!

Itu yang membuat banyak temen yang udah baca minta aku melanjutkan ceritanya. Jujur, aku ini jahat lho... hhe... coz gak terlalu suka sama ending yang bahagia, kalaupun harus bahagia, aku akan buat ending itu ambigu.

Dari semua permintaan lanjutan sekuel. Dalam hal ini, aku gak ‘keep my mind wide open’. Untuk saat ini, aku pengen pembacalah yang mempersepsikan sendiri jalan ceritanya setelah itu, sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Setiap orang pasti mempunyai harapan masing-masing, yang tak jarang berbeda satu sama lainnya… So, dalam hal ini, aku gak mempunyai rencana untuk membuat sekuel ke-2. Aku ingin kisah ini menjadi kisah interaktif yang inspiratif...

Karena aku sangat berharap, kisah ini dapat menginspirasi para pembaca, termasuk penulis sendiri… J

1 komentar:

Ada tanggapan???