Saat bintang tak mampu lagi berdendang,
Saat malam menjadi terlalu dingin,
Saat malam menjadi terlalu dingin,
Hingga pagi tak
seindah biasanya,
Ku tak bisa
merubah yang telah terjadi,
Tapi aku kan menjanjikan yang terbaik,
Agar kita tak pernah menjadi jauh,
Meski beda darmaga untuk kita berlabuh...
Tapi aku kan menjanjikan yang terbaik,
Agar kita tak pernah menjadi jauh,
Meski beda darmaga untuk kita berlabuh...
Takkan mungkin
kita bertahan,
Hidup dalam kesendirian,
Panas terik, hujan badai,
Kita lalui bersama,
Saat hilang arah tujuan,
Kau tahu ke mana berjalan,
Meski terang meski gelap,
Kita lalui bersama...
Pernah kita jatuh,
Mencoba berdiri,
Menahan sakit dan menangis,
Tapi arti hidup lebih dari itu,
Dan kita mencoba melawan...
Hidup dalam kesendirian,
Panas terik, hujan badai,
Kita lalui bersama,
Saat hilang arah tujuan,
Kau tahu ke mana berjalan,
Meski terang meski gelap,
Kita lalui bersama...
Pernah kita jatuh,
Mencoba berdiri,
Menahan sakit dan menangis,
Tapi arti hidup lebih dari itu,
Dan kita mencoba melawan...
-Siti Nurhaliza, Seindah Biasa-
Lagu di atas adalah lagu favorit gw saat SMP. Di
mana gw merasa itu adalah gambaran cerita kehidupan siapapun yang pernah menjalin
ikatan, termasuk ikatan persahabatan. Dulu, gw suka sedikit lebay dengan apa yang
namanya perpisahan. Perpisahan SD nangis sampai gogoakan saat menyanyikan lagu
wajib perpisahan, yang kira-kira liriknya begini…
“Mengapa… waktu itu kita harus berjumpa…
ohh, mengapa, kini kita harus berpisah lagi
Berpisah berpisah lagiii…. Berpisah berpisah
lagiiiiii…”
Gw bingung dengan lagu itu sebenarnya, kalau di
ingat-ingat sekarang. Sepertinya liriknya agak menyalahkan takdir. Pertemuan
dan perpisahan itu kan memang pasti selalu ada dalam tahapan proses hidup, tak
usah dipertanyakan lagi kenapa kita dipertemukan jika pada akhirnya kita harus
berpisah.
But, saat itu, gak muna, gw terhanyut dengan lagu itu,
apalagi diiringi permainan gitarnya Pak Guru Favorit kami. Bukan hanya gw yang
nangis gogoakan. Tapi temen-temen gw juga sama aja. Tangisan itu menular, kita
sama-sama seperti ‘lonely fool’ di tengah keramaian.
Ada lagi lagu ‘Pileleuyan’ ini lagu berbahasa Sunda.
Karena kami berada di dataran Sunda, kami menggunakan lagu wajib perpisahan
itu, liriknya begini.
Hayu batur hayu batur,
Urang kumpul sarerea,
Hayu batur hayu batur,
Urang sosonoan heula.
Pileuleuyan pileuleuyan,
Sapu nyere pegat simpay,
Pileuleuyan pileuleuyan,
Paturay patepang deui.
Amit mundur amit mundur,
Amit ka jalma nu rea,
Amit mundur amit mundur,
Da kuring arek ngumbara.
Nah, ini lagu lebih semangat dibandingkan lagu
sebelumnya. Pileuleuyan, artinya seperti “Sayonara” mungkin ya… namun lagu ini
jelas lebih optimis Karena ada kalimat “paturay patepang deui” yang artinya
“nanti kita bisa bertemu lagi” Lagu yang meminta pamit untuk mengembara--dalam
hal ini menuju kehidupan yang lebih menantang lagi. “Welcome to the Real Life”.
Lagu ini sengaja dinyanyikan terakhir untuk menghibur para penonton dan
tentunya untuk para subjek yang berpisah. Kita memutar sambil melambaikan
tangan ke penonton dan masing-masing saling berpelukan. Berpelukannya awalnya
satu-satu, lama kelamaan jadi berlima, bertujuh, bersebelas….
Terima kasih SD Negeri Cipaku Perumda yang telah
memperkenalkan gw pada dasar persahabatan yang membekass hingga kini.
***
Masuk SMP, gw bertemu dengan teman-teman
baru, juga tantangan-tantangan baru. Ada kalanya kita menganggap ini semua
adalah akhir, padahal ini adalah awal mula.
Persahabatan berawal dari pertemuan gw
dengan sesosok makhluk bernama Fika Aras Ardita Aditia Yudhabrata. Nama yang sungguh
panjang, bukan?
Tapi, tenang, dua kata terakhir hanyalah
ulah gw yang menyambung-nyambungkan nama sahabat gw ini dengan nama salah satu
teman sekelas kita, dan dia pria. Gw sering menjahili mereka berdua dengan
menyebut mereka pasangan serasi. Jadilah nama itu terbentuk.
Persahabatan kami ditandai dengan adanya
ritual khas yang disebut ‘Kukurilingan’. Definisi Operasional ‘Kukurilingan’
menurut kami adalah kegiatan mengelilingi setiap koridor kelas setelah ujian
usai. Berhubung sekolah kami itu panjaang dan cukup luas, jadi kita leluasa
untuk menjalankan aksi keliling-keliling sambil ketawa-ketawa (kadang sampai
seperti orang kerasukan).
#Astagfirulloh!
Tapi sayangnya, Fika hanya bertahan 1 semester di SMP Negeri 4 Bogor. Kelas 1 Semester 2, dia pindah ke Medan karena bapaknya bekerja di sana. Itu adalah tragedi perpisahaan awal yang cukup membuat anak labil macam gw kehilangan sahabat baik.
Kadang, saat itu gw ngerasa lebih baik
ninggal daripada ditinggal.
Saat itu, kita sepakat bakal saling surat
menyurat. (Waktu itu belum punya HP, apalagi internet) Jadi satu-satunya alat
berhubungan adalah merpati pos.
Berhubung saat itu gw lebay dan lebih
melankolis dibanding fika yang lebih phlegmatis. Gw suka bilang, “Fika, ucapin
kata-kata terakhir dong…” Tapi Fika malah bilang, “Ihh… Apaan sih, Gak ada
kata-kata terakhir, kita itu bakal ketemu lagi, Windaaa…”
Setelah hari itu berlalu, gw sering
mencoba mencet nomor telepon rumah Fika yang di Ciomas. Seperti hari-hari biasa
gw melakukan hal itu, nyaris setiap hari kita berbincang di telepon, tapi kali
itu, saat gw memencet nomor telepon rumahnya, hanya ada nada sambung dan tak
ada yang mengangkat. Gw tutup gagang telepon, pencet redial, tutup lagi, pencet
redial… Tutup lagi… Redial Lagi… #entah kenapa dulu gw lebay. -____- dan Fika
harus tau ini, bahwa gw sering melakukan adegan konyol setelah kepergiannya.
Seperti, menyimpan pas foto hitam putihnya
yang berukuran 2x3 dan gw taro di binder (sampai sekarang masih ada). Mengoleksi
setiap perangko yang datang bersama surat-suratnya dari Medan. Memelihara ikan
bernama Uka hasil kerajinan tangan Fika (sampai sekarang pun masih gw simpan)
dan tentunya surat-surat beserta amploppnya (klo yang ini sebagian udah di
makanin tikus,,,) :D ngehehe… piss ahh pik…
Ini hasil kerajinan tangan Fika yang dikirim lewat surat. Gw gak tau, kenapa si Fika dulu ngasih gw ikan, dinamain pula, namanya Uka. Dan gw pun aneh. Nempelin ini ikan di belakang binder. *Tapi meski itu semua adalah hal konyol yang dulu kami anggap serius. Dunia anak-anak memang selalu penuh keunikan, keajaiban, dan kenangan yang manis jika dikenang saat kita beranjak dewasa*
Dalam surat, Fika sering menceritakan teman-teman
sekelasnya di sekolah barunya, tentang teman sekelasnya yang dia sukai, tentang
temannya yang menyebalkan, dan apapun yang dia lakukan di sekolah barunya, SMP
7 Medan. Gw pun menceritakan kehebohan dan keseruan temen-temen gw yang juga
temen-temennya Fika di SMP 4.
Kita jadi seperti sahabat pena, sekalinya
kirim surat, tebel banget… bisa berlembar-lembar dalam satu amplop, belum lagi
ada yang bentuknya majalah kecil yang kita buat sendiri. Dengan surat setebal
itu, biasanya kita menggunakan perangko yang amat sangat minim, yaitu dengan
nominal 500, 1000. 2000 itu udah paling mending. Bayangin, Bogor-Medan, Jawa Barat-Sumatera Utara, surat tebel2
dalam satu amplop, sampe menggembung kalo disentuh dari luar dan harus ditimbang, dengan perangko seminim itu…. kirim ke kantor
pos Januari, nyampe-nyampe bisa Bulan Juni. *dan kadang, berita-berita yang
diceritakan dalam surat itu udah basi. Cerita zaman kapan, dibaca zaman kapan.
Ini adalah beberapa perangko yang dikirim oleh Fika, yang gw abadikan di binder, masih ada sampai sekarang. Itu ada sedikit tulisan-tulisan ababil. Harap maklum. Anak kecil, hehe... terlalu penuh pengkhayatan, masih lucu, lugu, dan agak sedikit cupu. *hohoho*
Semuaaa gak serba instan kayak sekarang.
Sekalinya kita lagi sebel sama si A, kalau sekarang, bisa curhat langsung lewat
sms, WA, atau sosmed… Lah dulu… Misalnya si Fika lagi sebel sama si B, curhat
di surat bulan Januari, dibaca oleh gw bulan Juni… Dan itu ternyata curhatan
yang sudah basi, karena bisa saja bulan Juni itu Fika sudah tidak sebel lagi
sama si B. Lebih parah… waktu itu Fika nyeritain salah satu anggota AFI
(Akademi Fantasi Indosiar) yang waktu itu lagi marak-maraknya, namanya Veri
(Juara AFI 1) tapi sayangnya, pas gw baca surat Fika, Zaman telah berganti,
Waktu telah berlalu… Karena AFI sudah tidak zaman lagi dan Indonesian Idol yang
lagi happening.
Tapi, meskipun demikian, kami saling
menikmati ‘cerita basi’ kami masing-masing. Gw masih tetep suka ngakakk baca
surat-suratnya Fika. Dan Fika pun sepertinya sering gubraggg dan ngakak membaca tulisan2
gw dalam surat yang setebel apaan tau itu. *Atau mungkin ngakak karena saking
basinya* :DD
Dan dari surat menyurat itulah… gw
berlatih menulis, gw rasa Fika juga sama. Fika itu pandai menulis. Gw suka gaya menulisnya yang mengalir dan penuh kejutan.
Sampai SMA kami masih terus surat-suratan,
meskipun waktu itu intensitasnya berkurang, karena Alhamdulillah, kami sudah
tidak terlalu purba lagi. Sudah memiliki Hp masing-masing. Hp yang masih ada
antenenya kayak yang suka dipake pak polisi di jalan raya. Hp jadul, tapi lebih
mendingan dalam menyerap informasi secara cepat, dibandingkan dengan surat
menyurat.
Dan, pas kuliah…
Ternyata kita dipertemukan lagi oleh yang Maha Kuasa.
Ternyata kita dipertemukan lagi oleh yang Maha Kuasa.
Fika masuk melalui jalur USMI, sama
seperti gw. Dan saat bertemu lagi setelah bertahun-tahun tidak berjumpa… kita
langsung melakukan ritual yang sering kita lakukan dulu. Yaitu ‘Kukurilingan’.
Bedanya, kali ini, di IPB.
Berarti benar kata Fika dulu, kita
bener-bener bisa bertemu lagi. Di Gedung Graha Widya Wisuda yang beratap biru
itu *kalau sekarang sudah berubah warna menjadi abu-abu*. Di bangku penonton
dengang tulisan huruf F besar (Fakultas Teknik Pertanian), ada seseorang yang
dadah-dadah di ujung sana. Saat itu, gw yang juga lagi duduk di bangku penonton
bertulisan I besar (Fakultas Ekologi Manusia), dadah juga ke orang yang lagi
dadah-dadah ke arah gw, yang memang benar itulah Fika. Udah sekian lama gak
ketemu, ternyata dia masih seperti yang dulu. Menyenangkan.
Kini, kami sama-sama telah lulus. Dan
telah menemukan jalannya masing-masing. Dulu berpisah, kemarin bertemu,
sekarang berpisah lagi. Itu memang hal yang biasa dalam kehidupan. Sekarang
kita sudah lebih dewasa dalam memandang hidup.
Sekarang Fika pindah ke Jambi, dia bekerja
di sana, *dan bisa saja selamanya di Jambi jika menemukan jodohnya* :D bertelur,
berkembang biak, dan beranak pinak di sana.
Dan gw.... Masih tetap di sini,
Di Pulau Jawa
tercinta.
Menjalankan amanah, menjaga janji, meniti mimpi.