Semoga saat ini, gw bisa menulis dengan tenang… Tanpa harus ragu dan takut beberapa orang yang tidak diharapkan membaca tulisan ini malah tidak sengaja membaca. Sebetulnya, gw gak mau membatasi apa yang harus gw tulis, sekalipun di media yang bisa diakses siapapun. Sejauh gak melenceng dari norma moral dan agama. Gak ada salahnya, jika itu adalah unek-unek dalem hati yang kalau gak dikeluarin bisa menimbulkan gondok tahunan.
Sebenernya banyak posting-posting yang seharusnya dipublish sebelum postingan kali ini. Sebelum posting blog, biasanya gw akan menulis di word dulu. Berhubung saat ini gw udah nggak pake spe*dy, bahkan saat ini gw menggunakan langganan internet yang berquota. Jadi, sayang aja kalau waktu ngenet habis hanya untuk update blog. Jadi, gw sering menulis dulu di word, lalu kemudian mengakses internet, laluu baru deh publish…
Saat ini, entah gw juga harus mulai nulis dari daerah mana dulu. Gw bener-bener bingung dengan apa yang terjadi dalam hidup gw. Saking bingungnya jadi gak merasa kalau gw sedang kebingungan. Biasanya, kalau gw sedang mengalami kebingungan, gw selalu bertanya (Siapa lagi kalau bukan pada Tuhan Yang Maha Satu).
Gw adalah makhluk yang introvert, aneh, dan kurang mahir beradaptasi dengan lingkungan baru. Gw suka kestabilan hidup, dan jika jadwal gw diganggugugat oleh suatu kegiatan atau kewajiban yang tidak biasanya, gw akan merasa kacau dan bisa jadi gw kabur dari kewajiban itu.
Di sisi lain, gw orangnya penakut banget. Meski sebenernya, sifat dasar gw itu pemberani. Tapi ada beberapa kesalahan, mungkin dari sisi pengasuhan, yang membuat gw jadi serba takut dan pesimis. Bukannya gw menyalahkan bunda mengandung. Ini hanya masalah kurangnya ilmu pengasuhan. Mungkin kita bisa menyalahkan orangtua, tapi jika kita sadar, bahwa zaman dahulu mereka tidak mengenali teori-teori tentang pengasuhan.
Dari situ, gw tau, bahwa ilmu pengasuhan anak tidak hanya datang secara alami saja, tapi juga butuh pengalaman, dan penelitian yang bisa menciptakan suatu landasan teori. Tapi berhubung di sini gw gak akan membahas tentang teori pengasuhan lebih dalam, jadi mungkin, gw akan mengalihkan kembali pada arah semula, tentang kebingungan. Entah kebingungan, atau keajaiban. Yang jelas, keajaiban itu kadang membingungkan, tapi sayangnya… nyata.
Tiada yang mustahil di dunia ini, jika kita beriman dan bertakwa… (vocal : raihan)
Mungkin gw udah sering membahas masalah kebingungan, kepesimisan, ketakutan dan lain sebagainya. Tapi sekarang, gw akan mencoba memahami apa yang disebut “POWER”.
Kalau orang-orang yang udah ambil mata kuliah Gender dan Keluarga, pasti udah faham banget apa yang disebut ‘emansipasi wanita’. Tapi gw gak akan membahas terlalu dalam mengenai masalah itu, karena saat ini gw akan membahas tentang seorang anak perempuan… hmm… seharusnya dy bukan ‘anak’ lagi, tapi sudah mencapai tahap dewasa awal.
Anak perempuan, biasanya lebih dimanja sama orangtuanya, anak perempuan biasanya dianggap lebih lemah dan tidak berharga dibanding anak laki-laki… Perempuan berfikir kebanyakan menggunakan emosi, sedangkan laki-laki menggunakan logika.
Entah semua itu pendapat datang dari desas-desus, ataupun penelitian. Gw gak sepenuhnya setuju. Bahkan gw setuju penuh bahwa perempuan itu jg punya ‘Power’ yang gak kalah hebat dari laki-laki. Apakah power yang dimiliki wanita? (hhe… tenang, gw gak akan jawab air mata koq) karena air mata itu terlalu berharga untuk dikeluarkan, apalagi gara-gara hal-hal sepele.
Balik lagi ke topik semula, anggap aja deh ceritanya anak perempuan itu gw… (hoho… pdhal emang iya). Tapi, berhubung emang banyak anak dengan kasus sama seperti gw, maka dari itu, gw akan membahas sedikit keajaiban yang terjadi dalam hidup gw.
Gw adalah orang yang sangat amat penakut, pemalu, gak berani kemana-mana sendiri, gak berani berpendapat, gak berani memulai meski ada ide, gak pedean, sering takut salah dan berlari pada zona nyaman dunia, gak mau repot, nggak mau panas-panasan, gak mau cape, pada sebagian orang dengan kasus seperti ini mereka yang manja seperti itu biasanya mereka study oriented, jadinya gak mau ikut organisasi2 sekolah atau kampus. Bedanya gw, gw nggak terlalu study oriented… hehe, itu bahkan lebih parah.
Sampai semester 4, gw gak pernah nyobain apa yang namanya organisasi di kampus. Pernah sih, tapi super duper gabuts. Pokoknya, gw itu agendanya kalau udah kuliah langsung pulang. Kagak ada deh nongkrong2an di secretariat organisasi2 kampus.
Sampai suatu ketika, gw dihadapkan suatu kewajiban yang ‘menurut gw saat itu’ sangat mengerikan. Kewajiban yang gw keselin bgt, kenapa harus ada 3 sks yang gak jelas itu. Tiga SKS itu bernama Kuliah Kerja Profesi. Beberapa minggu menjelang KKP, gw sempet mikir, ‘apakah gw sanggup? Gw gak biasa seperti itu, gw gak biasa keluar dari garis nyaman, gw orang introvert, apakah gw sanggup berbaur? Apakah gw sanggup menjadi pemberani dan mandiri? Ya Allah, apakah hamba sanggup?
Gw sering banget merenung mikirin hal itu sebelum hari H KKp.
Tapi kawan, inilah keajaiban, kini satu bulan lebih udah gw lewati, dan saat ini gw bisa merasakan senyuman gw sendiri. KKP itu tidaklah seperti yang gw bayangkan, dan gw tidak selemah yang gw bayangkan sebelumnya. Setiap menit dan detik yang gw habiskan di sebuah desa terpencil itu adalah pembelajaran. Setiap hembusan nafas yang gw keluarkan gak pernah ada yang luput dari perasaan syukur. Karena KKP adalah 3 sks yang sangat berkesan dalam hidup gw.
Meski nggak diawasi dosen setiap hari, kita bisa merasakan kita sedang belajar dan bertanggungjawab. Belajar dengan perasaan tulus dan ikhlas tanpa mengharap dilihat dosen pembimbing, tanpa berharap pamrih dari warga… kita bener2 belajar arti hidup yang sesungguhnya.
Dengan itu, gw berani banget bilang, kalau mau pelatihan keberanian, kemandirian, kepercayadirian, jangan harap bisa berubah hanya dengan diam di tempat, membaca buku, ataupun pelatihan-pelatihan training motivasi. (Gw bukannya bilang ‘gak boleh’) Gw hanya bilang ‘jangan harap’. Karena mungkin, pelatihan lisan dan tulisan sprt itu hanya sebuah teori saja, dan yang menentukan perubahan ialah prakteknya.
Alah bisa, karena biasa…
Gw nggak mau menjabarkan apa saja yang gw lakukan di tempat KKP, karena selain banyak bangett yang gw lakukan, yang gak biasanya gw lakukan di rumah (di zona nyaman), juga karena takut jadi ada unsur takabur. Jadi cukup dikhayati saja dalam hati untuk hal-hal yang ternyata bisa gw lakukan dengan baik.
Padahal sebelum KKP, banyak saudara yang beranggapan bahwa dalam pelaksanaan KKP, mama gw bakalan ikut nginep di rumah KKP bersama teman-teman gw yang lainnya. Saat itu, karena mama gw emang meragukan gw bisa apa nggak melakoni kehidupan KKP itu, gw juga jd ikutan ragu. Jadi, setiap kali ada omongan yang menyindir seperti itu… tentang kekhawatiran mama yang berlebihan, gw selalu jawab dan meyakini dalam hati bahwa “GW GAK MANJA! DAN GW PASTI BISA! JANGAN PEDULIIN APA KATA ORANG DAN KERAGUAN SIAPAPUN TERHADAP KEMAMPUAN GW. GW GAK PEDULI. GW PASTI BISA.”
Penanaman keyakinan itu bener2 melekat di hati gw. Gw tau, banyak orang yang mengalami hal yang sama seperti gw, diragukan, dianggap manja, dianggap tidak bisa, dikhawatirkan, dianggap lemah…
Jika kita tidak lawan semua perasaan itu, jika kita menerima saja tawaran perlindungan dari orangtua, Kapan kita bisa mandiri? Bukankan saat ini kita sudah dewasa? Bukankah saat ini justru kitalah yang seharusnya melindungi mereka?
Terlalu banyak memaklumi kelemahan justru akan membuat kita semakin tidak dewasa. Jujur, kadang gw kesel dengan orang yang mengatasnamakan rasa sakit sebagai jalur untuk memasuki zona nyaman, untuk menjadi manusia yang dimaklumi.
Rasa sakit itu harus dilawan… Sakit itu jangan dimaklumi. (Terdengar kejam, tapi inilah yang namanya belajar) penuh dengan perjuangan. ‘Salut sama salah satu temen gw, dia sakit asma, asmanya kambuh di perjalanan dari tempat penyuluhan. Waktu itu yang bertugas penyuluhan itu hanya gw dan dia, dan kita berjalan cukup jauh dari rumah… Gw salut karena di saat-saat seperti itu dia masih bisa berjalan, nggak ngeluh ini itu, dan yang terpenting gak ngeluh pengen pulang, dan akhirnya, dia hanya dibawa berobat ke puskesmas terdekat. Hasil dari doa, dan perlawanan terhadap penyakit itulah justru menjadi obat yang mujarab.
Kadang, besarnya motivasi kita melawan penyakit lebih manjur dibanding perlawanan bahan-bahan kimia yang diberikan dokter.
Itulah kawan, Berjuanglah sampai tetes darahh penghabisan… *hehe…
Dan, terakhir, tentang kemandirian.
Ini juga yang menjadi salah satu poin penting, yang gw dapatkan dari pelatihan fisik dan mental 3 sks KKP. Kalau dulu gw takut banget pergi sendiri, apalagi ke tempat2 yang belum pernah gw singgahi sebelumnya. Saat KKP, justru gw dipaksa untuk berani mandiri. Tentu semua orang mempunyai urusan masing-masing. Tidak selamanya kita menjalani aktivitas bersama. Ada kalanya kita harus menjadi single fighter, dan di sana, jujur… gw bangga banget sama diri gw sendiri, karena ternyata gw bisa melakukan hal-hal yang mustahil gw lakukan sebelumnya. *_^
U raise me up to more than I can be… (vocal : Josh Groban)
Dan di tempat KKP… gw selalu nggak lepas dari rasa syukur, karena Allah memberikan suatu pelajaran dengan menunjukan gw hal-hal yang membuat gw tersentuh, *yang ini, akan gw ceritakan selanjutnya, karena pengalaman berharga yang satu ini perlu ruang tersendiri untuk dibahas lebih mendalam.
Tentang anak yang bermain di dalam dunianya sendiri…
Seorang gadis keterbelakangan mental yang setiap hari gw dengar suara merdunya, membaca ayat-ayat suci Al-quran dengan fasih… dan saat dia ikut tersenyum dalam kesunyian saat melihat kita bahagia…