Sabtu, 30 Maret 2013

ME VERSUS DISLEKSIA (TRUE STORY)


Sumber Gambar : ipnuralam.wordpress.com

Goresan tinta melukiskan banyak kisah yang tersimpan sepanjang sejarah kehidupan manusia, anugerah terindah dari Sang Pemilik Jiwa dan Raga. Saat ini, bukan hanya aku, tapi kita, mereka, kalian, dan semua manusia, adalah penulis sejati. Hanya dengan perasaan cinta yang universal, namun kompleks dijelaskan, ataupun dengan rasa rindu yang tak tersampaikan, hingga mengalirlah kata-kata terlintas dalam hati, yang dapat kita ungkap lewat tulisan.
Aku terlahir dengan bantuan alat vaccum, alat vaccum yang mungkin mempengaruhi fungsi otakku, hingga waktu kecil, aku ’sedikit’ berbeda dengan teman-temanku. Guru-guru SD mencurigai kejanggalan pada anak kecil nakal dan bodoh yang selalu tidak paham apa yang beliau ajarkan ini, terutama dalam pelajaran membaca dan menulis. Hingga pada akhirnya aku menyadari, memang benar, there’s something wrong with me...!  
Aku baru bisa membaca dan menulis saat kelas 4 SD, bisa dibayangkan, di mana anak-anak lain sudah sangat lancar membaca dan menulis, bahkan, adikku saja dari TK sudah menjadi MC di acara sekolah yang pastinya membutuhkan keahlian membaca dan berbicara yang lancar.

Sumber gambar : sekolah123.com

Masa-masa kelas 1 hingga kelas 3 SD adalah masa-masa tersuram. Bagaimana tidak, setiapkali diadakan ujian, aku hanya melihat huruf-huruf berbaris bergoyang menari indah menjadi bentuk-bentuk yang kuinginkan. Bahkan, aku sampai lupa kalau saat itu sedang ujian, dan malah asyik mewarnai huruf-huruf yang mempunyai bolong, seperti huruf ‘a, b, d, o’ dan lain sebagainya. Hingga wali kelasku menggeleng-geleng kepala dan memanggilku secara eksklusif.
Di sebuah ruangan kuno bekas bangunan Belanda, yang saat itu telah berubah menjadi ruangan kelas, aku berbicara dari hati ke hati dengan guruku. Sebut saja namanya, Ibu Desi. Ibu Desi adalah wali kelasku dari kelas 1 hingga kelas 3. Guru di SD-ku hanya sedikit waktu itu, ditambah sekolahku ialah sekolah yang amat terpencil, dengan gaya bangunan khas setting latar film horror. Gaya bangunan Belanda, sarang laba-laba, dinding-dinding dingin kusam, dan retak seolah bercerita tentang sejarah di masa lalu. Membuatku ingin menggambarkannya lewat sebuah ungkapan, yang entah harus kunamakan apa. Karena, faktanya, saat itu, aku tidaklah mempunyai daya dan upaya untuk mengapresiasikan perasaan takut sekaligus kagum itu pada bangunan sekolahku dulu. Aku hanyalah anak yang tak bisa menulis dan membaca, yang saat itu merasa sedang diadili oleh seorang pahlawan tanpa tanda jasa, bernama, Ibu Desi.
Ia memperlihatkan lembar-lembar ujianku dengan nilai yang, amazing…! Luar biasa buruk! Angka itu berwarna merah mengambang di hadapanku, menembus penglihatanku, berbentuk telinga monyet.
”Kamu ini, masa udah kelas 3 SD gak bisa membaca dan menulis! Tulisan kamu terbalik-balik, lihat, kata ini seharusnya ’buku’ bukan ’duku’. Apa kamu tidak bisa membedakan antara huruf  ’b’ dan ’d’? Tidak bisa juga membedakan huruf ’u’ dan ’n’? Kenapa semua jadi terbalik-balik seperti ini?!” beliau menuduhku sekaligus dengan nada prihatin, lebih lagi karena memang, dulu aku termasuk anak sadis yang tidak hanya bodoh, tapi juga nakal, terbukti dengan sering memalak uang jajan teman dan sering usil memerosoti celana olah raga teman! Benar-benar anak yang tidak bermoral.
Aku hanya diam, saat Ibu Desi mengajaku berbicara, bahkan aku tidak takut sama sekali dengan ancaman beliau ingin memanggil orangtuaku ke sekolah. Dan setelah hari itu, Ibu Desi selalu memberikan PR, menulis huruf anggun. Namun selalu berhasil kukerjakan dengan baik, tak sulit bagiku saat itu, karena memang itu seharusnya pelajaran anak TK. Aku selalu bisa meniru apa yang Ibu Desi tuliskan di baris paling atas. Tentu saja itu mudah, tapi entahlah, mengapa aku selalu tidak bisa jika tidak memakai contoh nyata yang terlihat.
Dahulu, aku sering menggambar di bawah tangga, mengkhayati bangunan tua yang setiap hari kulihat, kumasuki, dan membayangkan suatu saat bangunan itu berubah menjadi modern. Imajinasiku terbang, membayangkan kejadian apa saja yang mungkin terjadi sebelum bangunan tua itu dijadikan sekolah, lebih lagi di belakang sekolah terdapat sumur angker dan rumah Belanda yang konon kabarnya, kosong sejak seratus tahun yang lalu, tak dihuni, tepatnya ’tak ada yang berani’ menghuni tempat itu lagi. Aku sering mengintip dari taman belakang sekolah bersama teman-teman satu spesies, (sesama anak nakal). Mengamati apakah ada kehidupan di sana. Dan yang pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri adalah, saat aku mengintip, aku melihat nenek-nenek berhidung mancung sedang duduk di kursi goyang. Sedangkan di tembok terlihat baju khas tentara kolonial Belanda yang digantung di sebuah paku berkarat yang menancap pada tembok kusam.
Hanya aku yang berani mengintip rumah itu, karena, untuk mengintip rumah itu hingga terlihat dalamnya, diperlukan keahlian memanjat dan merayap di tembok yang sangat ekstrim. Dan saat itu hanya aku yang berani memanjatnya. Saat aku turun ke bawah, teman-temanku menagih cerita tentang apa yang telah kulihat di sana. Dan dengan wajah ekspresif ekstra lebay, aku menceritakan pada teman-temanku apa yang telah kulihat, tentunya dengan ’sedikit’ improvisasi.
”Aku tadi lihat nenek-nenek lagi duduk di kursi goyang sambil makan darah, udah gitu di tembok ada baju tentara Belanda yang berlumuran darah, terus nenek-nenek itu mukanya rata, ihh... angker banget deh pokoknya!” teman-temanku memasang tampang ngeri, sekaligus penasaran, dan herannya mereka percaya saja dengan cerita konyolku itu. Aku terus bercerita dengan sangat seru, dan sangat bohong tentunya. Melihat teman-temanku ketakutan, ada perasaan puas menjalar di seluruh batinku. Saat itu juga, aku merasa sudah menyelesaikan satu cerita horror fiksi yang kukarang sendiri secara spontan.
          Suatu hari menjelang kenaikan kelas ke kelas 4, Ibu Desi memanggilku lagi. Kali ini, kulihat ibuku bersamanya. Ibuku memasang wajah ingin marah tapi tampak ditahan karena ada Ibu Desi di sana, aku bisa menduga, cerita apa saja yang mereka bagi bersama tentangku. Tentang kepayahanku dalam menulis dan membaca, tentang kejahilan dan keusilanku, tentang seorang pembohong ulung yang suka menakut-nakuti anak orang! Seketika aku merasa menjadi terdakwa dan siap dimasukan penjara. Namun dugaanku salah. Ibu Desi tersenyum, ia memegang cermin seukuran buku tulis. Ia berkata pada ibuku.
          ”Bu, sepertinya anak ibu mengalami disleksia. Disleksia adalah ketidakmampuan seseorang untuk belajar membaca dan menulis. Baik berupa huruf ataupun angka, ataupun yang berbentuk kalimat. Anak disleksia sulit menerima pelajaran membaca dan menulis. Ia sulit mengeja huruf, dan sering terbalik-balik menuliskan huruf-huruf yang mempunyai struktur yang hampir sama. Seperti ini...” Ibu Desi memperlihatkan lembar-lembar ujianku yang memprihatinkan, dengan banyak angka dan huruf terbalik dan gambar-gambar kartun. Sempat-sempatnya aku menggambar di lembar ujian. Luar biasa jika mengingat lagi hal itu! Yah, mungkin saat itu kemampuan membaca dan menulisku memang payah, tapi jika ada pelajaran kesenian, seperti menggambar, memainkan alat musik, aku agak unggul dari teman-teman yang lain. Dan gambaranku selalu mengerikan. ’Gambar bangunan atau rumah tua yang sangat menyedihkan.’ Entah kenapa, waktu kecil, aku seringkali terobsesi dengan hal-hal horror!
         Ibu Desi tak hanya sekedar memberitahukan informasi tentang disleksia, tapi juga menyarankanku untuk banyak berlatih membaca dan menulis. Jujur, dari beliau dan bangunan tua sekolahku’lah pertama kali aku terinspirasi untuk mulai menulis dan membaca. Setiap hari beliau mengajarkanku menulis, menggunakan kaca, hingga aku dapat membedakan huruf demi huruf seperti orang normal kebanyakan. Semenjak saat itu, ibuku sering membelikanku buku-buku anak. Tapi, yang kubaca hanya buku-buku yang covernya mencurigakan dan menyeramkan, seperti buku-buku RL. Stine.
         ”Belajarlah menulis, kalau sudah bisa, pasti kamu ketagihan, menulis itu salah satu seni menata hati... Tuangkan hal apapun yang kamu sukai, tuliskan apa yang tak mampu kamu katakan, lukislah perasaanmu lewat tulisan, dan temukan keajaiban...” Ucapan Bu Desi selalu terngiang-ngiang di langit-langit kamarku, menghantuiku. Dan sejak saat itu, aku mulai mencoba menulis Diary, dan mulai menuangkan hobi berbohong’ku ke arah yang lebih berguna, yaitu mulai menulis cerpen-cerpen horror fiksi di buku tulis. Entah kenapa, aku menyukai latihan menulis dengan gaya seperti itu, hingga dengan cepat aku bisa menulis lancar seperti manusia yang tidak mempunyai sejarah disleksia samasekali.
Dulu aku tak tahu apa itu disleksia, aku baru mendapat informasi lengkap tentang disleksia saat menginjak usia remaja. Disleksia terjadi karena ketidakstabilan kerja otak bawaan dari lahir, namun kini, aku tahu, semua hal pasti ada hikmahnya, tidak ada yang tidak mungkin. Seorang Albert Einstein pun bahkan mengalami disleksia.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (QS. Ar Ra’d : 11)
Semua peristiwa yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita pasti akan selalu mengandung hikmah. Dan ’disleksia’ tidak akan menghalangiku untuk tetap berkarya. 


*Kisah ini telah dibukukan bersama kisah kawan-kawan lainnya dalam buku kumpulan kisah nyata "Inspirasiku Menulis", yang diterbitkan oleh Leutika Prio, Tahun 2011.

Senin, 18 Maret 2013

DENTAL FREAKS



Sebelumya saya pernah menulis tentang tema yang serupa, yaitu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia pergigian. Dan, saat ini, (lagi-lagi) saya ingin sharing tentang follow up pasca pencabutan gigi pertama “yang tak kan pernah terlupakan itu” -___-

Entah kenapa, jika disinggung masalah pergigian, agak sedikit konyol bila mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang berkaitan dengannya. Saya tau, bahwa gigi adalah alat untuk mengunyah makanan, saya juga tau gigi itu keberadaannya adalah fitrah manusia, dan meskipun demikian, ada orang yang tidak memiliki gigi lengkap seumur hidupnya. Gigi juga menjadi pembawa berkah bagi para pelawak-pelawak yang memiliki ‘kelebihan’ ataupun ‘keistimewaan’ pada giginya—yang orang lain tidak punya. Pokoknya, peran gigi itu sudah sangat multifungsi, dari hal-hal yang bersifat biologis, kronologis, sampai yang sifatnya entertaining. Hingga ada film yang judulnya Tooth Fairy, peri gigi. 

Gigi memang benar-benar anugerah Yang Maha Kuasa. 

Namun, dokter menyarankan gigi saya dicabut empat biji. Coba bayangkan, empat gigi itu bukan satu atau dua, bahkan lebih dari tiga. Betapa syiioknya saya saat itu, seperti disuruh membunuh anak sendiri rasanya. Karena semula, dokter memberitahu bahwa hanya dua gigi graham sebelah taringlah wajib dicabut untuk meratakan para gigi depan yang pada egois rebutan tempat. 

Saya rasa kalau gigi saya punya tangan, mereka akan saling cekik mencekik satu sama lain.

Tapi pada akhirnya, saya harus terima itu dengan lapang dada, legowo. Toh, pada akhirnya, kita semua akan berpisah juga. 

Saya ingat salah satu perkataan dokter saat pertama kali melihat tampang ketakutan saya. 
“Tenang aja, awal-awal takut-takut, nanti lama-lama ketagihan loh, hehehehe…” *ketawa.agak.jahat* 

Sungguh rasanya saat itu saya ingin ikut tertawa juga sebenarnya. Tapi rasanya terlalu sedih untuk mengeluarkan bunyi tawa. Saya takut bunyi tawa yang keluar dari mulut saya jadi tidak normal dan dokternya malah kabur. 

Meski sebenarnya itu yang saya harapkan. 

Setelah sesi pencabutan pertama, tiga minggu pemulihan, *lama banget* Sebenarnya saya memang lebay, hanya sugesti membayangkan masih menganganya lubang darah di bekas tempat gigi saya. Hingga membutuhkan waktu tiga minggu untuk sadar kembali bahwa masih banyak tugas saya di dunia sebagai hamba Tuhan. Bahwa hidup bukanlah melulu masalah gigi, gigi, dan gigi. Hingga saat itu saya berani cabut gigi untuk yang ke-2 kalinya, meski sisa-sisa trauma masa lampau masih menggerogoti jiwa. #tang-tang itu, paku palu itu, alat pengorek-ngorek gigi itu… ahhh… saya ingin kawin lari saja rasanya saat itu. 

Namun lagi-lagi, saya menyemangati diri sendiri, ini masalah kecil untuk dijadikan hal yang besar. Masih banyak masalah lain yang butuh energi untuk ditakuti. *ditegur Allah subhanahu wa ta'ala karena melakukan dosa, dimarahi atasan, diteriakin emak jika bangun kesiangan, dan hal-hal menyeramkan lainnya. 

Seperti biasa, saya duduk di “kursi dingin”. Saat itu AC ruangan dokter giginya dingin ajaib.. Dinginnya AC membuat saya merasa berada di dalam kulkas penyimpanan batu bara, ditambah lagi deg-degan panas dingin membayangkan sejarah trauma masa lalu berulang. Berusaha rilex. Sang dokter seperti biasa, mencoba menenangkan. Dan saya menempati kursi dingin itu. Sang dokter mendekat, sambil ngecek2 smartphone’nya… saya jadi berpikir hal yang tidak-tidak, jangan-jangan beliau meng-update status dulu sebelum nyabut gigi saya. -___-

Kali ini, masih gigi graham atas sebelah kiri yang dicabut. Suntik anestesi lokal, seperti biasa, sakit. Tapi saya menahan diri untuk tidak menjerit-jerit norak seperti saat pertama kali hal itu terjadi. Ternyata, jeritan bisa ditahan dengan menggenggam batu. Saya kira, hanya saat kebelet buang air besar saja yang bisa ditahan dengan menggenggam batu. Ternyata, sakitnya disuntik pun bisa ditahan dengan menggenggam batu sekuat tenaga. 

Kali ini, letak gigi saya miring, jadi lebih sulit dari yang pertama. Beliau terus mengajak ngobrol saya, di saat posisi mulut saya sedang calangap seperti itu, susah rasanya menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau. Untungnya beliau bukan menginterview saya tentang pengalaman bekerja dan motivasi saya masuk perusahaan. 

Beliau hanya bertanya, “Sakit ga?”, “terlalu kenceng ya?”, “Giginya bagus gak ada lubang, suka sikat gigi ya?” (dalem hati saya menjawab dengan penuh rasa haru, “enggak pernah, Dok, gigi saya gak pernah disikat, Cuma suka diampelas).  

Akhirnya, beliau berhasil setelah sekitar 30 menit mengguncang-guncang gigi saya. Tercabut sempurna. Alhamdulillah. Namun, Setelah itu saya mengalami tremor sesaat. Dokternya agak sedikit panik. Mungkin membayangkan takut dituduh mala praktek dan dilempar koin. 

Ternyata memang letak giginya kurang strategis, sehingga diperlukan tenaga otot tanpa perasaan untuk mencabut gigi mulia tersebut. Sayang sekali, dua gigi awal tidak saya simpan sebagai kenang-kenangan, mereka hilang begitu saja setelah terlepas dari tempatnya…. Sudah selama ini bersama… Namun, mereka pergi entah ke mana. Saya yakin, mereka berdua bahagia di alamnya. Di manapun mereka berada, Tidak akan hancur, karena gigi adalah tulang terkuat yang ada pada tubuh manusia. #Baik-baik di sana ya, Nak... 

Beres sesi pencabutan gigi ke-2. ENOUGH!!! Saya merasa trauma saya memuncak, dan sudah cukup dua kali saja itu terjadi dalam hidup saya yang hanya sekali ini. Persaiton dengan planning dokter yang menyarankan saya mencabut serta dua gigi lagi di bagian bawah. 

Hingga pada akhirnya tibalah jadwal pemasangan behel rahang atas. Dan ternyata, rasanya dipakein bracket itu luar biasa pegal bibir. Calangap selama setengah jam. Belum lagi bibir ditarik-tarik ke kanan dan ke kiri, ke atas, ke depan, Arrrghhh…. Dowerr rasanya. 

Ada orang yang pernah bilang, “don’t worry girl, someday you will find someone who ruin ur lipstick, not ur mascara.” 

Finally, I found Someone who ruin my Lipstick. Huhhh… AND IT’S A DENTIS!!

#Hoho, enggak deng… untung saya tidak memakai lipstick saat itu. Saya tidak suka memakai lipstick, lebih enak makan gorengan, sama saja, terkesan memakai lipstick, namun lebih natural. 

Hmm… belum lagi ada cairan kecut-kecut asem yang ditempelin ke gigi, katanya sih itu buat melekatkan bracketnya. Trus ada sinar-sinar berwarna biru yang menyoroti gigi saya. Kayaknya semua jurus kamekameha sang dokter dikerahkan untuk menyerang gigi saya. 

Setelah itu, pemasangan karet… Beliau memperlihatkan beraneka jenis warna. Dan dengan pertimbangan saya tidak ingin terlalu terlihat menggunakan behel, dan agar warnanya tidak terlalu strong, sehingga tidak terlalu terlihat seperti tompel. Saya memilih warna yang paling pucat. Dan itu warna pink. *tenaaang, bukan pink norce… ini soft pinky. 

Dan, taraaaa…. Jadilahh… terpampang nyata sempurnaa behel ini di gigi-gigi saya…. :D

Lalu setelah itu dokter memberikan pesan-pesan. Inilah pesan-pesan dokter setelah berhasil menanamkan ‘susuk’ tersebut :: 
“Setelah ini, gak boleh makan dulu ya 2 jam, makan yang halus-halus aja, gak boleh makan yang keras-keras, kayak keripik, gorengan, bla bla blaa….” Saya tidak fokus lagi beliau berkata apa… saya tidak bisa lagi memakan gorengan…??? Itu malapetakaa… Lipstik alamikuuu…. T___T

Saya sebenarnya tidak bersedih karena itu, tapi sungguh makanan yang keras-keras itu adalah makanan favorit saya, saya kurang suka makanan-makanan yang lembek. Kurang menantang. XDD

Setelah keluar dari ruangan dokter. Ibu saya mencolek-colek saya. “eh, anterin mama ke ondangan yaa…” 

Oh tidak mama… mama yukerooo… jangan lakukan itu.” (dalem hati saya berontak). Tapi di luar saya tersenyum manis tersipu-sipu “Oke, Ma…” hikss… T___T

Bagaimana tidak, di resepsi pernikahan itu tokoh utamanya adalah makanan. #parah.banget.ini.niatnya.
Maksudnya… pasti banyak makanan yang menggiurkan menggoda iman. Yahh… tapi mau bagaimana lagi. Hidup harus terus berlanjut, sekalipun gigimu baru saja direka ulang.

Dan, sesampainya di resepsi pernikahan… 30 menit dari pemasangan behel… belum dua jam dari waktu yang ditentukan ‘tidak boleh makan’. Saya makan dengan lahapnya, apa saja yang ada di sana, sampai ke rendang-rendang, syomay, ayam, udang, cendol…. 

Dan hasilnya… Linuuuuu Luar biasa nyampe rumah. Saya mulai searching2 di gugel. Berharap menemukan manusia dengan nasib yang serupa dengan saya. Satu hari setelah pemakaian bracket itu saya hanya bisa mengunyah sebelah. Yang sebelah lagi linu gak ketulungan. Belum lagi adaptasi yang luar biasa menyiksa. Rongga mulut kegores2 akibat gesekan-gesekan si bracket manis itu. Pegel rahang pula. Sepertinya, jika gigi-gigi saya bisa berbicara, mereka akan berkata, “Lepaskan aku…. Lepaskan aku~~” Sambil menggoyang2kan diri. 

Dan hasil searching di gugel serta konsultasi berjam-jam dengan kakak dan teman saya yang sedang co ass gigi. Ternyata kelinuan yang terjadi ialah hal yang lumrah adanya. Memang seperti itu, sabar saja, masih adaptasi. Dan benar ternyata… Beberapa hari kemudian saya sudah kembali bersinar dan berpijak seperti dulu kalaa… ^^

Bahkan belum sampai seminggu, saya memutuskan untuk cabut gigi lagi. Yang bawah. #Cabut gigi itu candu juga ternyata. -___- gak mau gak mau lagi, tapi akhirnya mah mau lagi. Bener kata si Pak Dokter, awalnya takut-takut, lama-lama ketagihan. *___*

Seperti biasa, ritual-ritual ‘kursi dingin terjadi lagi’, seperti de Javu. Dan saat dokter mengguncang2 gigi saya. Saya kira akan lama seperti pengalaman yang sudah-sudah, bahkan saya berniat untuk tidur selagi dokter mencabut nyawa gigi saya. Tapi ternyata, tak sampai 1 menit, gigi itu terlepas sempurna hingga ke akar-akarnya. Cepat sekali, tak terasa…

Kali ini, saya meminta gigi saya kembali. Saat gigi itu diberikan pada saya, saya terkejut… ternyata gigi saya akarnya panjang sekali, dan bersih… :D wahh… Gigi yang sehat, putih, dan cerdas. 

Saya menatapnya dengan penuh rasa haru, saya berjanji akan merawat dan menyapihnya dengan sepenuh hati segenap jiwa raga. 
*Lohhh??! #abaikan.

Dan anehnya, setelah sampai rumah, yang biasanya setelah baal habis, linu menyerang. Ini sama sekali gak linu. Dua gigi sebelumnya membutuhkan 2 minggu pemulihan baru bisa mengunyah dua sisi. Tapi saat ini, saya sudah bisa mengunyah dua sisi dengan kondisi memakai behel, benar-benar cepatt pemulihannya, bahkan antibiotik dan obat penahan rasa sakit yang harus diminum pun tidak saya minum. Ini aneh saya rasa, 2 gigi sebelumnya pasca dicabut itu sampe stress karena sakitnya luar biasa, tapi kali ini benar-benar tidak sakit sama sekali. 

Aneh, tapi apa memang bisa seperti itu?! 

Naluri mistik saya pun mencuat ke permukaan, ditambah persetujuan ibu saya, mungkin karena saya kini membawa serta gigi saya. Kalau yang waktu itu kan gak dibawa, dibuang langsung di tempat dokternya. Jadi giginya pundung… #sakit hati. -___-  Jika dia adalah sutradara, mungkin dia akan membuat sinetron yang berjudul “Gigi yang Terbuang”. 

Mitosnya sih seperti itu, setelah dicabut, supaya nggak sakit, giginya harus dibawa. Jangan dibuang. Trus ada lagi mitos jika gigi atas yang dicabut, harus dibuang ke bawah, kalau yang bawah harus dibuang ke genteng. *makin aneh*

Tapi, saya segera menyingkirkan pikiran2 mistis itu, lalu bertaubat dan berbaik sangka pada alam. Mungkin karena ini gigi rahang bawah, jadi tidak terlalu sakit jika dicabut, lagipula proses pencabutannya pun mudah, tak perlu digoyang-goyang dan ditusuk-tusuk terlalu lama seperti sebelum-sebelumnya. 

Sejauh ini, proses terapi ortho berjalan lancar… Alhamdulillah….

Yahh… begitulah kiranya kisah follow up yang berawal dari Dental Fear dan kini menjadi Dental Freaks.

Mungkin serupa dengan Proses hidup yang kita jalani. Semua proses hidup itu bertahap, mungkin di awal, kita tidak menyukai suatu hal sama sekali. Kita ingin segera kabur dari sebuah situasi yang tak membuat kita nyaman. Tapi coba hadapi dulu pelan-pelan, dengan tenang, sabar, dan ikhlas. 

Insya Allah, semua akan berjalan lebih baik, lebih terarah, lebih terbiasa, karena kita telah terlatih untuk menangani rasa takut kita. Hingga suatu saat, kita bisa mulai mencintai apa yang sedang kita jalani dan bersiap untuk menghadapi apa yang akan kita jalani di kemudian hari.