Minggu, 22 Agustus 2010

Malu Aku Malu

Nyanyi dulu ah....
"Malu aku malu... pada semut merah, yang menempel di dinding menatapku curiga, seakan penuh tanya, sedang apa di sana?" (lagunya Ebit G)
Sebenernya gak tau bener gak ya liriknya kaya gitu, soalnya aku agak ragu dengan kata 'menempel' yg kayanya bukan menempel c, tp yasudahlah, anggap saja menempel...

Kenapa aku nyanyi lagu itu? Karena saat ini aku sedang merasa malu,
Malu dengan apa yang telah kulakukan...
Malu dengan segala hal yang orang tidak tahu tentangku.
Yang saat itu hanya Tuhan dan semut-semut merah yang menempel di dinding yang tahu. Meskipun saat itu semutnya gak merah, tp anggap saja ceritanya semutnya berwarna merah,
supaya matching sama lagunya. X)

Aku juga malu, sebenernya maluuu banget... (berapa kali harus bilang bahwa aku sedang malu berat) kayanya gak ada batasannya. Tapi juga meskipun bilang 'aku malu' sebanyak apapun, gak akan bisa merubah keadaan, karena nasi sudah menjadi nasi goreng... yang enak dimakan! (ini apa sih, kagak nyambung)

Entah kapan aku bisa menghentikan kebiadabanku itu,
Aku juga malu ketika aku berbicara dengan orang-orang, seperti biasa, mereka tidak tahu bahwa sebenarnya aku berbahaya... Mereka menganggap 'tidak ada yg salah dengan diriku' meskipun sebagian orang menyadarinya.

Aku merasa tidak pantas mendapatkan ini semua. Tentang semua yang kudapatkan, tentang semua yang kuperoleh tanpa usaha, tentang apa yang sudah jadi takdirku untuk kuperoleh. Tuhan terlalu baik.... dan aku terlalu tidak bersyukur...

Kawan-kawanku, barang siapa yang membaca postingan kali ini dan merasa bingung, karena belum bisa menangkap maksudku, harap maklum ya... Aku hanya sekedar ingin mencurahkan apa yang kurasakan, tak berharap solusi apapun, karena aku yakin, yang bisa menolong itu hanyalah diriku sendiri... ^_^ sehebat apapun motivasi yg kalian berikan, sedahsyat apapun nasihat yg kalian sampaikan, sesungguhnya, semua itu kembali pada diri sendiri...

Aku hanya meminta sedikit waktu kalian, untuk mendengarkan.... (berhubung di blog, jadinya membaca) berharap rasa malu ini berkurang. Meski kenyataannya, saat ini aku menjadi semakin malu...
"Dasar Gadis pemalu!"

eh? bukan deh, tp lebih tepatnya...

"Dasar Gadis tak tahu malu!"

Bahkan saat ini aku merasa aku bukanlah seorang gadis...
Aku hanyalah tumbuhan yang hanya sekedar tumbuh, tanpa berkembang...
Aku adalah bebatuan, yang keras, yang hanya ada di dunia ini, tanpa bisa merasa....
Aku hanyalah benda mati, yang tidak tahu bagaimana rasanya mencintai dan dicintai....

Dan itulah mengapa semut merah menatapku curiga!
Karena sebenarnya aku bukanlah manusia...

Sabtu, 07 Agustus 2010

Heart Reflections


Rembulan malam menyelusup malu memberikan kehangatan cinta yang tak tertandingkan, karena sang bulan memberikan separuh sinarnya untuk menerangi bumi dikala sang matahari tak lagi bersamanya. Walaupun mereka tak pernah setia untuk terus menemani sepanjang hari, tugas mereka bergilir untuk membagi sinarnya, redupnya hati di malam yang dingin ini tak lagi terasa ketika kunyalakan cahaya lilin tepat saat kegelapan menyerang.

Lilin penantian tanpa akhir, berkelip nyaris padam namun ia tetap mempertahankan nyalanya untuk mencoba menjadi seperti rembulan di luar sana, yang memberikan cahaya indah tanpa syarat. Melingkar bulat penuh tergambar harapan yang tinggi dari cerita seorang nenek-nenek menjahit ditemani kucingnya yang malang, terkurung bersama kesepian di bulan, itu bukanlah kisah nyata yang perlu ditafsirkan oleh teori apapun, itu hanyalah gambaran kebersamaan yang terukir lewat kasih sayang tanpa syarat. Di mana kisah persahabatan nenek dan kucingnya bisa terlihat jelas saat kita memandang bulan purnama penuh yang benderang.


Wajah cerah penuh senyum itu masih teringat, rasa syukur dan haru yang mendalam ketika seorang anak laki-laki delapan tahun merenung sendiri di taman sambil menggenggam medali, menggambarkan prestasi yang sempurna, tak ada yang ia tahu kecuali perasaan cinta pada ayahnya yang selalu ada di dalam hatinya. Kemudian ia menemukan piano usang dan memainkanya, irama musik klasik yang sering ayahnya ajarkan dulu ia praktikan tepat di tengah suasana malam penuh kedamaian itu.


Entah mengapa, malam bulan purnama itu begitu sunyi. Bagi anak seusianya, tidak layak bermain sendiri. Harmoni keteraturan lagu yang menyiratkan kerapuhan, seorang anak yang berprestasi namun terabaikan... Tanpa perasaan apapun ia terus memainkan pianonya, gelap yang semakin pekat tak membuatnya takut bermain di tengah sunyi. Hanya ditemani cahaya lilin dan sebatang korek api yang habis terpakai, ia tak tahu, cahaya mana lagi yang akan menemaninya bermain piano saat lilin itu habis, akankah rembulan itu akan terus memantulkan cahaya, menemaninya, atau akan menghilang seiring dengan habisnya lilin itu? Seorang pria berjas hitam datang mendekati anak kecil mungil itu. Pria tegap, gagah dan berwibawa tersenyum manis memandangi anak tersebut.

Anak itu mulai bernyanyi...

I love you, Daddy, you are my hero, I love you Daddy oh Daddy, you are my super star….

Bintang jauh beratus-ratus kilometer dari bumi terlihat benderang, taburannya membentuk rasi bintang yang sangat indah berkilauan. Anak pemain piano itu terus bernyanyi, memainkan musiknya dengan penuh penghayatan, tanpa air mata, tanpa tangisan manja, kenangan-kenangan pun berseliweran di antara mereka. Namun tiba-tiba nyala lilin tersebut padam, gelap! Sangat Gelap! Terasa menyesakan, tak ada sinar sedikit pun, walaupun bulan di atas sana masih tampak sinarnya, bintang-bintang menghilang satu persatu… Anak kecil itu kecewa dan hanya bisa mendengar suaranya sendiri dalam kegelapan malam yang suaranya tak terdengar oleh siapapun…

I love you, Daddy…

Anak itu tertidur di tengah mimpinya yang terputus. Yang mungkin hanya menjadi harapan untuk selamanya…

sumber gambar : rania83.blogspot.com

Jumat, 06 Agustus 2010

The Shadow of Death


Persahabatan tak akan pernah mati, sampai kapan pun, hingga bintang berhenti bersinar. Tetaplah menjadi bintang yang kulihat, sahabatku, tetaplah kau di sana, menerangi malam-malamku yang gelap, teruskan hidupmu yang belum berakhir, hingga pagi datang kau tak akan melihatku seperti sekarang, tapi kau masih bisa melihatku, lihatlah bintang di langit, percayalah saat kau melihat bintang di langit, aku pun sedang melihat bintang itu. Yakinlah, kita melihat cahaya bintang yang sama.

Hari-hari yang kujalani, bagaikan kau melihat burung-burung terbang dalam mimpimu. Pernahkah kautulis dalam buku harian hati, tentang masa yang paling indah, dan berharap masa itu bisa terulang lagi, hari-hari bagaikan bayangan dalam mimpi, kenanganku bersama masa yang terindah, bagaikan mimpi tersempurna yang tak ingin kutinggalkan, di sana ada suatu harapan, bahwa jika itu semua hanyalah mimpi, aku tak mau bangun lagi dan meninggalkannya, tapi jika aku mengingat hari kelam, senandung duka dan kekecewaan, semua itu seperti mimpi terburuk, dan kuharap segera bangun dari tidurku, kembali mandi, membersihkan kamar, dan menggosok gigi, mengukir pagi dan melupakan puing-puing mimpi itu.

Namun, hanya bayang-bayang dari masa lalu yang berbisik, mengajaku bercanda tanpa suara, mengingatkanku pada tawa kecil yang lucu pada masa itu, pada masa yang sebenarnya takkan pernah kudengar lagi kabarnya…

sumber gambar : mynicespace.com